Thursday, December 6, 2007

Menghadiri Acara HASS

Jumat malam saya ke PTIK. Karena dekat kantor, saya sempatkan kesana. Sekaligus menghilangkan penasaran terhadap organisasi kedaerahan seperti ini. Disana saya bertemu dengan beberapa orang yang pernah saya temui di beberapa rapat MAPPAS dan MPKAS.

Sebelum berangkat saya punya gambaran awal tentang acara ini, yang hanya akan berisi kumpulan sambutan-sambutan para tetua. Lalu cerita tentang keberhasilan dan ditutup dengan harapan untuk memajukan minangkabau. Tanah minangkabau dan orangnya. Dan memang, gambaran awal saya ini terbukti. Menambah rasa pesimis saya dengan kegiatan-kegiatan seperti ini.

Acara dipandu oleh seorang laki-laki cukup berumur. Dan kenapa harus dia? Memangnya tidak ada orang muda yang mampu buat menjadi pembawa acara. Lalu rangkaian pidato seperti biasa. Ini juga masih tokoh-tokoh yang sama. Yang seharusnya sudah tidak berada di depan lagi breteriak-teriak. Cukuplah menjadi seorang tempat bertanya ketika akan pergi dan berberita ketika sudah pulang. Apakah yang muda tak ada yang berani muncul, ataukah para tetua tetap menjadi seorang banci tampil?

Di acara ini saya mencoba membuat sebuah analisa (yang sangat dini tentunya) tentang orang-orang yang hadir. Dan ketika itu pula saya ingat ucapan seorang guru saya, tentang sebuah komunitas. Katanya, dalam sebuah komunitas apapun bentuknya. Jumlah anggotanya yang aktif, maksimal adalah akar kuadrat dari komunitas tersebut. Jika ada 100 orang, yang akan aktif maksimal hanyalah 10 orang. Saya coba menguji hipotesa guru saya ini terhadap organisasi HASS. Lalu Gebu Minang, SSM dan seterusnya. Irisan atau overlap anggotanya sangatlah besar. Universe HASS, Gebu Minang dan SSM rasanya itu-itu juga. Berlaku juga untuk anggota yang aktif sebagai akar kuadrat komunitas ini.

Artinya. Penggiatnya organisasi minang ini adalah L4. Loe Lagi Loe Lagi.

Nah, maka dari itu. Kenapa organisasi minang tidak kita jadikan satu saja. Toh program-programnya itu-itu juga, apalagi penggiatnya. Parat tetua yang akan memberikan pidato juga masih orang-orang yang sama. Biar efisien dan efektif saja tentunya.



Note:
HASS: Himpunan Alumni SMA Se-Sumbar
MPKAS: masyarakat Pencinta Kereta Api Sumbar
MAPPAS: Masyarakat Peduli Pariwisat Sumbar

Saturday, October 27, 2007

Istanbul, Sebuah Timur di Barat...2

Bonaparte pernah berujar, jikalau dunia ini adalah sebuah negara tunggal, Istanbul adalah ibukotanya. Mungkin ucapan ini terlontar karena keindahan kota Istanbul, atau bisa jadi karena posisi geografis Istanbul yang memang cukup ideal sebagai sebuah ibukota di masa itu. Apalagi dikaitkan dengan adanya benteng alami bernama selat bosphorous dan golden horn, yang membuat perlindungan kota lebih gampang. Di masa, dimana peperangan memang lumrah terjadi kapan saja.



Bagiku, kedua alasan ini masuk akal. Istanbul memang indah dan strategis. Selama 5 hari di kota ini, aku menyempatkan diri mengenal keindahan fisik dan eksotisme budayanya.

Satu hal yang menggelitik selama berada disana adalah soal pemerintahannya. Baik di masa lalu, setengah lalu, setengah kini dan saat ini. Bagiku Istanbul (baca Turki) sungguh sangat unik dan membuat ingin tahu. Perbincanganku dengan kawan-kawan penduduk asli memperkaya pemahamanku jauh di luar informasi yang aku dapat selama ini tentang Turki. Kebanyakan yang kukenal disana, adalah pendukung sekularisme. Sedikit saja yang masih berbau puritan.



Aku selalu memancing dengan pertanyaan kenapa Partai Islam yang menang di tengah prinsip dasar sekluarisme negara anda. Aku berada disana ketika belum ada kepastian pelantikan Abullah Gul sebagai Presiden. Jawaban mereka sungguh beragam, sesuai dengann latar belakang pandangan mereka terhadap sekularisme. Sebagian besar menjawab, masyarakat memilih Erdogan (dan partainya) lebih karena bukti kinerjanya ketika memerintah Istanbul. Seorang kawan malah mengatakan, karena keberhasilan Erdogan membersihkan Golden Horn (teluk Istabul) ketika menjadi walikota. Sehingga sekarang ia jadi bisa memancing dari pinggir jembatan, tak seperti dulu airnya sangat hitam dan pekat.



Satu orang yang menjawab karena, masyarakat Turki rindu akan sebuah sistem pemerintahan Islam masa Ottoman. Satu orang inilah yang menemaniku di masjid biru, ketika aku bilang hendak mencoba Shalat Ashar di mesjid tersebut. Sementara yang kawan-kawan yang lain menunggu di sebuah cafe sambil meminum bir khas turki ”efes”. Sebuah minuman, yang aku juga suka.



Note: Ketika Transit dalam perjalanan pulang, terdengar berita kalau Abullah Gul telah dilantik sebagai Presiden Turki.

Tuesday, October 23, 2007

Baru Sebatas Barandai

Lupakanlah harapan untuk orang minang perantauan bisa bekerjasama dan melakukan sebuah kerja besar. Apalagi bermimpi untuk menjadi sebuah gerakan kesukuan besar seperti orang Israel dan China lakukan. Jangan pernah kawan-kawan.

Rasanya kita cocoknya memang sekadar berkumpul bersama, merencanakan dan melaksanakan pertunjukkan randai, saluang, domino barabab dan sebagainya. Lebih dari itu. Susah rasanya. Lihatlah contoh ka nan sudah dan tuah ka nan manang. Usulan mangumpuakan pitih seribu yang dilontarkan Soeharto di tahun 80an, tak pernah berkembang dengan baik. Cuma begitu-begitu aja. Tak sepenuhnya salah, ada orang yang beranggapan organisasi ini hanya jadi alat mempopulerkan pengurusnya, atau mempertahan posisi publik pengurusnya.

Menurut kawan saya, sesama minang kita tidak punya lagi yang namanya trust. Katanya lagi, bisa jadi karena orang yang selama ini diberikan kepercayaan, tak pernah sungguh menjalankannya. Pragmatis belaka. Katanya juga, tak heran sebuah organisasi pengumpul dana abadi sosial, performancenya tak lebih bagus dari sebuah panitia pembangunan mesjid. Padahal organisasi ini dipayungi oleh orang nomor satu di ranah dan rantau. Pelaksananya juga banyak bergelar profesor, dan sebagian besar pengurusnya adalah orang yang berkategori well educated.

Sekali lagi, ini menurut kawan saya. Dan, saya lagi menimbang-nimbang komentar kawan saya ini. Hmmm.... rasanya kawan saya ini ada benarnya.

Salam

Tuesday, October 9, 2007

Bengkulu

I.
dulu.
bengkulu adalah wilayah administrasi Inggris
singapura administrasi Belanda
lalu keduanya dipertukarkan
begitulah di zaman dulu
orang Eropa mengkapling-kapling dunia
seperti kita membelah-belah lepis legit


.......................
mari kita hening sejenak
berpikir dengan hati dan logika
apa yang terjadi seandainya pertukaran itu tak pernah ada...
apakah singapura akan tetap maju seperti sekarang
jikalau hanya menjadi sebuah kota kabupaten di bawah propinsi kepulauan riau
kalau bernasib baik menjadi sebuah propinsi
apakah bengkulu semaju singapura sekarang
menjadi sebuah negara merdeka dan modern
bersih, teratur dan kaya pula


II.
dari sebuah notulen rapat BPUPKI
sekelompok orang pernah mewacanakan
semenanjung melayu dan british borneo
menjadi wilayah negara baru janjian jepang ini kelak
kelompok lain menjawab tak perlu
cukup wilayah administrasi hindia belanda saja
lalu katanya pula, ada permintaan dari saudara-saudara kita
di Sabah dan tanah Malaka
kalau memang tidak bisa menjadi wilayah negara godokan BPUPKI ini
tolong dikirimkan saja pemimpin-pemimpin dari Batavia di tanah Jawa
sampai orang melayu bisa memimpin pula
bayangkan kalau ini sampai terjadi..



III
Hittler adalah penjahatnya
memulai perang dunia II
dan kalah pula
semua menjadi berubah karenanya
negara-negara baru muncul hanya berdasar wilayah jajahan siapa
bukan karena "nation" usalinya
akibatnya terlahir negara bernama Indonesia


IV.
mari berandai perang dunia II tak pernah ada
......................................
di tahun 20-an
administrasi hindia belanda sudah benar rasanya
dari sekian ribu tentara KNIL, isinya sudah inlander hampir semuanya
pribumi sekolah semakin banyak jumlahnya
contoh lagi
bengkel kereta api untuk sumatera dibangun di Lahat
padahal jalurnya baru ada sampai linggau saja
baru ada lagi di Logas
belanda punya rencana
sumatera akan dihubungkan rel kereta api semuanya
lahat konon berada di tengah-tengah
saya bukan hendak beromantika
kalau Mega lebih bagus daripada SBY
Gusdur lebih hebat daripada Mega
Habibie jagoan dibanding Gus Dur
Soeharto lebih top daripada Habibie
Soekarno lebih bagus dibanding semuanya
Jepang, Belanda dan seterusnya

bukan..
sekali lagi bukan
saya hanya bermaksud membangunkan kita semua
tertutama diri saya sendiri

Yeltsin

Dunia Dalam Berita

1989.
Gorbachev, Ivan Lendl, van Basten, Tepi Barat Jalur Gaza, Najibullah Mujahiddin, tembok berlin diruntuhkan.

1990.
Gorbachev Yeltsin, Ivan Lendl, van Basten, Tepi Barat Jalur Gaza, Najibullah Mujahiddin.

2007.
Yeltsin meninggal



::::::::::::::::::::

Samar kumengerti waktu itu. Baru kelas VI SD. Uni Soviet bisa bubar. Tak banyak lagi berita laporan kegiatan Gorbachev. Yang sering terlihat hanyalah Yeltsin. Badan besar dan muka kaku. Beda dengan Gorbachev (kemudian aku tahu dia popular dipanggil Gorby) yang mukanya simpatik dengan bahasa tubuh menyenangkan.


:::::::::::::::::::
Yeltsin adalah orangnya. Sadar akan kemajemukan dan persatuan semu Uni Soviet. Padahal dia berasal dari anggota federasi terbesar. Yang biasanya adalah kelompok yang paling inginkan mempertahankan status quo.

Yeltsin tidak begitu. Ia sadar semua ini hanyalah semu. Satu saat semuanya pasti akan ambruk. Lebih baik, keambrukan ini direncanakan. Diatur sedemikian rupa, biar ia berjalan baik dan tak banyak membawa korban. Baik itu nyawa ataupun harta benda.

Selamat jalan Yeltsin...
berharap ada Yeltsin baru
DISINI!!

Monday, October 8, 2007

Nation State

Jangan ragukan rasa kebangsaan Indonesia saya sampai umur 22 tahun. Ketika mendengar ada propinsi yang hendak merdeka, hati saya sangatlah dongkol bukan kepalang. Bahkan ketika orang tua saya dicabut hak-haknya berkarir sebagai pegawai negeri sipil gara-gara isu tidak bersih lingkungan, rasa kebangsaan saya pun masih tinggi. Paman jauh saya, sejak tahun 70 sudah mengganti kewarganegaraan mereka sekeluarga. Ketika mereka pulang mudik di tahun 1993, hati saya masih marah betapa mereka dengan mudah mengganti kewarganegaraan.


Lalu bagaimana sekarang?

Biasa saja.

Saya malah menyayangkan kenapa kita semua pernah berada dalam administrasi hindia belanda.
Sangat saya sayangkan!! Timor Timur adalah sebangsa dengan NTT (Kupang dan Pulau Timornya). Cuma, ketika di eropa lagi musim mengkapling-kapling dunia asia dan afrika, mereka berbeda pengkapling. Dan akhirnya, mereka terpisah secara negara. Walaupun Soeharto pernah berusaha nekat mempersatukan si Timor Timur.


Ini mungkin cerita basi dan telah diulang berulang-ulang kali. Bahwa Sumatera lebih dekat ke Malaysia daripada tanah Jawa ini. Cuma, ketika di eropa lagi musim mengkapling-kapling dunia asia dan afrika, mereka berbeda pengkapling. Dan akhirnya, mereka terpisah secara negara.


Sampai saat ini, nation kita masih berada di tataran suku bangsa. Nation state building sudah berada di fase leg, tanpa melewati sebuah fase log yang ciamik. Artinya ia stagnan saja, tak berubah dari era 1908. Baru sebatas nation state sebagai bangsa dibawah administrasi hindia Belanda.


Benedict Anderson boleh saja berkoar-koar tantang gejala akan terbentuk komunitas khayal sebagai trend terbaru berkebangsaan dunia. Tapi faktanya? Di Indonesia belum duduk sampai sekarang permasalahan ini. Ketika menanyakan asal muasal seseorang, bertanya sesama Indonesia masih belum sama dengan orang amerika sesama mereka menanyakan hal yang sama. Enam puluh tahun sudah kita lewati masa trial end error ini. Dan apa yang kita dapat??


India, Pakistan dan Bangladesh, sebagai daerah yang pernah bermaharaja satu di London sana, tak lagi berada satu negara. Seorang Gandhi bahkan dari awal sudah menyadari, terlalu mahal biayanya jika dipaksakan terus bersatu.

Kapan giliran kita??

Thursday, October 4, 2007

Bung, aku kecewa!

kecewaku padamu

meyakinkan Yamin saja kau tak mampu

tentang tak perlunya Papua dalam Indonesia

tentang statebond dan federalismenya bentuk negara




kecewaku padamu

tentang kegagalanmu

menjelaskan pada pendiri negara ini

tentang ketakutanmu pada sebuah nasionalisme chauvinistik

dan berhala persatuan




kembali ku kecewa padamu

tentang ketidakbisaanmu menahan laju

luapan semangat persatuan simbolik

tentang semangat kejayaan masa lalu nan semu




kecewaku padamu

FYI, saat terlalu banyak gegap gempita

teriakan asbun en ka er i

dari orang yang kami namakan tokoh

Thursday, September 6, 2007

ISTANBUL, Sebuah Timur di Barat...1

Rasa lelah 12 jam perjalanan udara dari Singapura langsung hilang, ketika roda pesawat Turkish Airlines menyentuh landasan Bandara Internasional Attaturk di kota Istanbul, Turki. Rasa penasaran akan sebuah kota penuh sejarah ini langsung memenuhi pikiran ini. Otakku langsung dipenuhi imajinasi berseting Turki di akhir abad ke 19 seperti dalam Novel Tariq Ali berjudul Perempuan Batu, selang setahun lalu kutamatkan. Kisah tentang keluarga bangsawan diplomat kesultanan Usmaniyah.

Selepas urusan kantor, sorenya aku langsung berjalan-jalan menyusuri kota ini. Beruntung ada yang menjadi guide bagiku menikmati perjalanan selepas jam kerja ini. Alhamdulillah ini summer, matahari baru terbenam pukul 8 malam. Jadi, aku masih sempat menikmati pemandangan siang kota dua benua ini.

Betapa aku berdecak kagum di tengah lalu lalang ribuan orang di Taksim Square. Sebagian besar terlihat berlari mengejar waktu. Sebagian kecil terlihat duduk santai, menikmati sajian teh khas turki di lorong jalan Istiqlal. Sebagian lagi juga larut dalam kenikmatan simbol-simbol modern. Starbucks, Burger King dan Pizza Hut. Kukagumi setiap perempuan muda turki yang terlihat. Begitu cantik dan eksotiknya. Perpaduan postur eropa dan balutan kulit lembut asia. Sungguh, mereka akan selalu terlihat cantik bagiku.

Kembali aku membayangkan masa lalu dimasa kesultanan Usmaniyah. Tetap bersetting Novel Perempuan batu, selang setahun lalu kutamatkan. Sapaan Effendi dan Hanim Effendi, berseliweran di kupingku. Para perempuan dan laki-laki memakai pakaian khas turki. Berseling dengan laki-laki asing berpakaian jas atau berjubah khas arab. Sebagian mereka adalah para diplomat asing dan para musafir niaga. Mungkin aku akan mencoba duduk bersama mereka di sebuah kedai kopi, bercerita tentang negeri kami masing-masing. Akan kuceritakan kepada mereka tentang islam di negeriku , sebuah negeri di timur jauh. Sambil sesekali meneguk Raki* atau Ouzo dari negeri tetangga mereka, Yunani.

Sempat aku berdoa, di Taksim Square ini kutemukan mesin waktu. Agar aku bisa melihat langsung semua suasana itu. Tak sebatas khayal dan lamunan lagi.

* Raki (baca rake, sejenis arak khas Turki)

Thursday, August 16, 2007

Amir dan Thomas Edison

Dari kecil Amir begitu mengagumi Thomas Alfa Edison. Itu bermula ketika Guru SD Amir bercerita tentang penemu listrik. Walaupun ketika tiba di rumah, Ayah dan Ibunya merevisi, bahwa Edison sebenarnya adalah penemu bola pijar. Apa pun itu, Amir tetap menganggap Edison adalah orang hebat. Bahkan ketika di kelasnya ada anak baru, pindahan dari Jambi bernama Edison, Amir sempat iri bin bingik. Kenapa ia dulu tidak diberikan nama Edison oleh ayah ibunya.

Menurut Amir kecil, kalau tidak ada Edison ia tidak akan bisa menonton TV seperti sekarang ini. Menyaksikan Film Si Unyil, Dari Gelanggang ke Gelanggang terutama bagian relly mobilnya, atau menyaksikan film Flash Gordon. Ketika listrik padam di rumahnya, kekagumannya pada Edison makin tak terbatas. Benar-benar gelap dunia ini tanpa Ediosn, begitu kira-kira. Di perpustakaan SDnya, Amir menemukan sebuah buku bergambar yang bercerita tentang Edison. Di buku itu tertulis, kalau Edison memiliki puluhan paten atas namanya. Ketika di luar, orang berbicara tentang kepatenan. Amir dengan lantang akan berkata, dia tidak berhak disebut "paten". Di dunia ini yang berhak disebut paten hanyalah Edison. Yang lain cuma sok paten.

Di kelas IV SD, Amir menangis sedih ketika Guru Agama menceritakan semua orang yang bukan islam akan masuk Neraka. Berarti Thomas Edison dan Om Sinaga tukang kredit Ibunya akan masuk Neraka. Edison adalah orang hebat. Om Sinaga adalah orang baik. Suka memberikan kipang kacang padanya. Membantu ibu-ibu membelikan Panci, Seprai, Lapiak lipek dan sebagainya. Termasuk memberikan Imsakiyah menjelang bulan puasa, yang dihisab oleh Bapak Arius Saikhi. Amir tidak terima kalau Edison dan Om Sinaga masuk neraka.

SMP dan SMA, Amir sudah mulai melupakan Edison. Ia lebih tertarik dengan wanita. Juga lagu Metallica. Sebenarnya dangdut juga. Cuma Amir sedikit gengsi. Soalnya di majalah HAI yang ia baca, Metallica dan kawan-kawanlah yang dianggap gaul di Jakarta. Nike Ardilla dan Deddy Dorres aja dianggap kampungan, apalagi Kalau Dangdutnya Anis Marsela. Begitu juga lagu Malaysia.

Dan, Amir pun kuliah di tanah Jawa. Sekamar dengan Bang Rajab asal Sidempuan. Dari si Abang, Amir banyak belajar tentang dunia, di luar kuliah dan teman wanita. Amir dan Rajab sering berbincang tentang apa saja. Akhirnya sampai juga pembicaraan tentang Thomas Edison. Ketika bicara tentang Edison, abang biasa saja menanggapi. "Tak adalah itu, kalaupun si Edison tidak ada lampu pijar pasti ditemukan orang juga nya", begitu kata abang. Paling juga tertunda 5 tahun saja. Tapi Amir memang Minang sajati: Iyo kan nan di urang laluan nan di awak. Baginya Thomas Edison tetap orang hebat.

Amir pun mulai terlibat dalam pergulatan pemikiran dengan Bang Rajab. Banyak hal mereka sulit untuk sepakat. Dari sedikit yang mereka sepakati hanyalah soal ketidakadilan konsep penghuni sorga dan neraka versi mutakhir kawan-kawan lain. Bagi Rajab dan Amir, kebajikan seseorang kepada manusia dan peradaban adalah sorga itu sendiri. Bukan yang lain. Lalu Rajab dan Amir mulai berdoa, "Ya Allah. Ya Tuhan kalau memang sorga akan kau berikan kepada manusia ini. Berikan juga untuk Thomas Edison, Abu Thalib dan Isaac Newton. Betapa mereka telah banyak berbuat kebaikan untuk dunia ini. Layaklah sorga-Mu itu sebagai apresiasi bagi mereka. Kalaupun mereka tidak pernah menjadi muslim, Bukankah mereka juga mengakui Tuhannya Ibrahim sebagai Tuhan mereka pula... Amin".

Amir dan Rajab segera menyalakan Sampoerna Mild. Mengambil gitar, menyanyikan lagu Isabella yang lagu Malaysia. Diteruskan dengan Manuk Dadali yang lagu Sunda. Kemudian bercerita tentang pacar-pacar mereka. Mereka, udah loe apain aja....?

Wednesday, August 15, 2007

Pulang Kampung (Surat Untuk Seorang Perantau)

Assalamualaikum,
Dunsanak,
Sama seperti anda, saya juga perantau. Saya berada dalam barisan besar gerombol orang minangkabau yang disebut perantau. Merantau sebenarnya adalah pilihan terakhir buat saya. Kalau boleh memilih, sebenarnya saya ingin tinggal di kampung. Mengurus sawah, parak gatah dan sekali-kali mencari ikan di batang sinama. Namun apa daya, orang tua menyekolahkan ke tanah jawa. Keinginan pun menjadi berubah. Sisi materialistis telah muncul menjadi sebuah hal yang sangat penting. Keinginan sederhana masa kecil telah dikalahkan oleh hasrat untuk mencari bentuk kesuksean lain berupa materi dan posisi publik.

Telah menjadi kebiasaan saya sejak bekerja dan lulus sekolah untuk pulang kampung tiga bulan sekali. Tetap ada sisi romantis dalam diri ini untuk tetap mengunjungi kampung tercinta. Setahun pertama, kepulangan saya ke kampung baru sebatas berkumpul dengan keluarga dan teman-teman lama. Kesan pamer tak bisa dihindari. Saya sudah merasa paling hebat dibanding orang-orang kampung. Kerjaan saya hilir mudik, trus nongkrong di lapau. Setiap menit saya benar-benar begitu menikmati sapaan “Hey, bilo tibo? Iyo alah sanang kini yo?”. Tak peduli sapaan itu benar-benar tulus atau hanya basa basi belaka. Yang penting saya benar-benar jadi besar kepala. Kebetulan rumah kami bertetangga dengan rumah wali nagari, setiap pulang selalu saya sempatkan main ke sana. Di depan Pak Wali saya kembali terlihat sok hebat. Saya berkoar-koar menyampaikan nasehat buat kemajuan kampung ini. Dan kembali saya tetap tak peduli, apakah pak wali benar-benar tulus mendengarkan atau tertawa dalam hati.

Beberapa teman-teman lama pengurus karang taruna semangat pula mengajak saya berdiskusi. Pernah pula saya diajak beraudiensi dengan Pak Camat. Bahkan saya diminta untuk menyusun proposal menyusun feasibility study proyek kelompok usaha ikan keramba milik Karang Taruna. Modalnya berasal dari Dinas Koperasi Kabupaten. Seperti biasa, proyek ini hanya berlangsung satu siklus produksi saja. Namun tak apalah, sebagian uang pakan ikan ada dibelikan ke bola voli dan biaya organ tunggal malam hiburan. Di acara itu, saya sempatkan pula membeli singgang ayam lewat acara lelang.


Dunsanak,
Setelah sekian kali saya pulang kampung. Saya mulai bosan dengan public appereance seperti yang sudah-sudah. Kebosanan ini sengaja dibikin pedih oleh garah kudo seorang teman di lapau yang katanya saya hanya mampasamak kampuang dan mampadiah parasaan urang kampuang. Segera saya teringat ungkapan seorang teman di sebuah milis yang katanya, orang rantau minang hanya bisa membuat orang-orang minang yang ada di kampung punya hasrat ikut-ikutan merantau. Atau, mereka tak mampu membuat orang-orang berhenti merantau. Ucapan ini sangat terasa benarnya. Saat ini kampung kita benar-benar sekarat, yang hidupnya cukup lumayan tinggal kelompok pegawai negeri dan birokrat lainnya. Secara ekonomi kampung kita sudah sakit.


Dunsanak,
Saya bukanlah perantau sesukses anda, apalagi kalau indikator kesukesan berbentuk materi dan kedudukan. Saya sangatlah jauh di bawah. Tapi di balik kecilnya peran sosial dan terbatasnya materi, saya mulai mencoba bergerak nyata di kampung saya. Soal hasil, itu urusan nomor dua. Setiap kepulangan berikut, saya mencoba melakukan sesuati yang lebih nyata. Terutama untuk keluarga satu rumpun dulu. Mulailah kami berkolam ikan dan pelihara bebek. Semua tak pernah lagi melibatkan Pak Walinagari termasuk Karang Taruna juga. Duduak di lapau atau hilia mudiak keliling kampung pun sudah saya kurangi. Saya baru sadar, kepuasan terhadap achievement kita terletak pada hati nurani kita sendiri, bukan pada ekspose media apalagi penerimaan penguasa.


Wassalam

Thursday, August 2, 2007

Bilih Singkarak

Hari ini aku makan bilih. Seorang kawan lama mengantarkan ke rumah. Langsung dari Paninggahan, sebuah nagari di tepian barat danau singkarak. Setelah sebulan sebelumnya tidak sengaja bertemu di sebuah pusat perbelanjaan. Ia pun bercerita, kalau hendak pulang kampung. Tak lupa kuminta dititipkan bilih goreng.


Ingatanku kembali ke masa kecil di Paninggahan, dan nagari-nagari lain di tepian danau singkarak. Dua belas tahun awal kehidupan kuhabiskan disini. Dua adikku dilahirkan di Singkarak, yang bungsu lahir di Paninggahan. Aku sendiri lahir di Sulit Air. Danausingkarak begitu mempengaruhi masaku tumbuh.


Banyak kenanganku di Paninggahan. Sebagian besar daerah ini sudah aku jelajahi. Mulai dari gando di sisi timur sampai Subarang di perbatasan Malalo. Ke selatannya juga aku sudah pernah. Daerah kapalo aia dan gagauan. Kalau diteruskan kita bisa sampai ke kawasan hutan tempat Gamawan Fauzi pernah nyasar.



Salah satu yang masih kuingat adalah alahan di tepian danau singkarak. Alahan adalah tempat nelayan danau menangkap bilih. Sebenarnya alahan adalah muara banda atau sungai kecil di danau singkarak. Ikan bilih biasanya sangat senang berkumpul di muara banda ini. Mungkin karena kandungan oksigen air yang masuk lebih tinggi daripada air di tengah danau. Biasanya subuh-subuh nelayan danau menangkap ikan. Alahan ini akan mereka bendung pada subuh. Dan ikan yang sudah ada akan terperangkap. Mereka menggunakan tangguak untuk menangkapnya. Biasanya mereka memakai sejenis daun yang bisa membuat ikan lemas. Mirip-mirip proses hibernasi pada udang ketika hendak diekspor.



Aku pernah beberapa kali menemani ayah ke alahan di subuh hari. Ayah langsung ke alahan kalau hendak membeli bilih dengan jumlah besar. Minimal 3 ember. Biasanya kalau ada acara jamuan besar di kantor ayah. Pernah pula kita subuh-subuh ke alahan karena ada permintaan dari Gubernur. Beliau mau mengadakan jamuan di Padang buat pejabat-pejabat Jakarta.



Aku begitu menikmati proses penangkapan ikan di alahan ini. Bangun subuh. Naik motor dibonceng ayah. Melihat kesibukan orang di subuh hari. Memakai sebo hitam dan lampu senter. Berendam dalam air. Lalu menangguk bilih. Kemudian bilih mulai dicurahkan ke dalam ember-ember milik pedagang. Siap untuk dikirimkan ke pakan-pakan di wilayah Solok dan sekitarnya. Bau anyir tak pernah menggangguku. Yang aku lihat hanyalah kilatan putih bilih di temaramnya fajar. Sungguh, aku rindu masa-masa itu.



Lebaran 2002, saya ke Paninggahan. Ayahku ingin kesana katanya. Katanya disanalah bagian paling mengesankan dalam karir kerjanya. Ternyata selama 7 tahun diparkirkan karena dianggap anak PKI, ayah selalu merindukan Paninggahan. Mungkin ayah menganggap, hadiah naik haji yang diberikan negara banyak disumbangkan oleh periode tugasnya di Paninggahan. Jadi sebelum berangkat haji, kita berkunjung ke Paninggahan.


Tak banyak yang berubah di nagari ini. Sapaan masyarakatnya masih khas. Rumah-rumah di sepanjang jalan utama masih terlihat padat. Di Jorong Subarang kami mampir di rumah teman ayah. Rumahnya dekat dari danau. Danaunya bersih karena jauh dari rumah penduduk. Dari perkampungan ke danau, kita harus melewati persawahan lebih dulu. Disitu dulu kita sering berenang. Mencari bekas sendal jepit. Diberi layar. Berharap dibawa riak sampai ke Ombilin di seberang sana. Menyapa penumpang bus yang lagi makan di Rumah Makan Angin Berembus....



* Pernah diposting di milis RantauNet

Thursday, July 26, 2007

Alang Alang Darek

Orang eskimo punya banyak nama untuk varian salju. Orang-orang bermakan pokok beras, juga punya bermacam-macam nama bagi benda-benda yang dinamakan orang inggris hanya "rice". Orang China juga punya hal yang sama untuk makhluk berkategori bambu. Begitu juga orang minang. Bambu punya banyak varian yang berkata tunggal. Mulai dari rabuang, talang, aua, pariang dan seterusnya.

Pariang adalah sejenis bambu yang biasa yang sering dijadikan bahan dasar membuat layang-layang. Terutama alang-alang darek. Selanjutnya akan saya sebut saja layangan saja. Pariang adalah sejenis bambu berukuran sedang, berbuku panjang dan memiliki kelenturan tinggi. Sehingga, pariang sangat cocok dibuat sebagai layangan.

Di kampung saya pariang tidak banyak tumbuh, beda halnya dengan batuang yang bisa ditemui di banyak tempat. Di pekarangan belakang rumah saya sekarang saja, ada rumpun batuang. Seingat saya pariang hanya tumbuh di tiga tempat. Pertama di rumah bako saya, dipinggir sawah godang. Yang kedua di daerah sawah laweh, dan ketiga di kawasan sawah bungo. Enaknya tinggal di kampung, kita tak perlu membeli pariang perbekal layangan. Cukup meminta pada yang punya, kita sudah boleh langsung menebang pariang. Kalau pun tidak meminta, juga tidak apa-apa. Pariang sepertinya sudah menjadi milik bersama. Beda halnya dengan ubi kayu, yang secara konvensi diakui sebagai milik yang punya tanah atau yang menanam. Tapi pada prakteknya, anak muda seperti bersaing dengan babi hutan untuk menguasai ubi kayu yang ada di sebuah kebun.

Bulan Juni-Juli adalah bulan liburan sekolah. Biasanya kita menyebutnya libur panjang, pakansi panjang dan sebagainya. Di masa kecil, saya sangat menanti-nantikan masa liburan ini, karena saya pasti akan pulang kampung. Ini adalah masa yang indah, biasanya bulan ini jatuh pada musim kemarau. Padi telah selesai dipanen, pohon karet sedang berganti daun, petani libur menyadap. Sungai di kampung kami pun sedang sangat bagus-bagusnya buat dijadikan tempat mandi. Airnya tidak terlalu besar dan keruh. Jadi, sungai akan selalu ramai sepanjang hari. Mulai dari anak-anak sampai urang nan jolong gadang, bahkan para gaek yang lagi marando tagang.

Salah satu kegiatan yang cukup digemari di periode ini adalah main layangan. Ada beberapa tempat yang diminati sebagai arena bermain layangan. Yang pertama lapangan bola di tengah kampung. Lalu lapangan bola biaro dan ketiga di sawah gadang. Saya belajar membuat layangan pada Mr Buyuang Ladang, pada sebuah liburan kenaikan kelas SD di tahun 1988. Awalnya masih membuat alang-alang maco. Benang yang dipakai juga masih benang cap jaguang. Bukan benang nilon seperti yang lain. Tahun berikutnya, barulah saya diajarkan membuat alang-alang darek.

Ketika sudah SMP, saya sudah cukup lihai membuat layangan. Bersama dua orang mamak, saya mulai menjual layangan. Biasanya kami pasarkan pada anak-anak pegawai negeri di kampung kami. Mulai dari anak Pak Camat, Pak Polisi sampai anak guru-guru. Kalau anak kampung kami agak gengsi membeli layangan. Kalaupun tidak bisa, mereka cukup minta dibuatkan ke buyuang ladang. Pulangnya diberikan sebungkus Comodore atau Gudang Garam Filter.

Tahun berikutnya, kami mulai melakukan ekspansi bisnis layangan. Wilayah kampung dirasa sangat tidak cocok untuk bisnis ini. Penetrasi pasar sudah sangat tinggi, pemain juga banyak. In term of Quality, juga kami kesulitan bersaing. Kami mulai membidik pasar baru. Kali ini tidak lah tanggung-tanggung, langsung menyerbu ibukota propinsi. Cuma kami tidak menjual dalam bentuk barang jadi, yang kami bisniskan adalah bahan baku. Yaitu: Pariang! Seminggu dalam liburan, kami pergi ke Padang buat berjualan pariang. Pariang kami potong dan belah sepanjang dua ruas, seukuran bilah buat pagar. Untuk keperluan ini, kami membuat deal dengan keluarga bako saya dalam pengadaan pariang ini. Saya lupa harga per batangnya. Yang jelas, kami ketika itu menjual sebilahnya di Padang sebesar 1500 - 2000 rupiah. Seminggu di Padang, kami bisa membawa uang 2 jutaan.

Jadi, kalau dunsanak pernah tinggal di Wisma Indah III dan IV. Atau yang tinggal di komplek Jondul Rawang di era 1990 - 1995, mungkin kita pernah berbisnis. Dan kala itu, saya cukup senang berbisnis dengan anda.


Salam

UBGB
http://ubgb.blogspot.com/

Wednesday, July 11, 2007

Adat dan Estetika 2

Martin Luther pernah berselisih paham hebat dengan seorang tokoh lain penentang utama kepausan Roma. Berdasar pada teori musuh dari musuhmu adalah sekutumu, tak seharusnya mereka berselesih sebegitu hebatnya. Mereka menjadi berkelahi sebegitu hebatnya hanya karena tidak sepakat soal pengandaian roti dan anggur. Padahal semua orang tahu, roti ya roti, anggur ya anggur.

Saya tak hendak menjadi seorang Martin Luther dalam adat minang. Tak perlu nama ini terpaku dalam sejarah peradaban minangkabau ini. Saya hanya ingin menjadi paku kecil saja. Tentu sebagian kita pernah membeli secara knock down sebuah rak buku atau rak TV bermerek Olympic dan sejenisnya di toko serba ada. Ketika merangkai kembali potongan-potongan rak tersebut di rumah, kita akan berhadapan dengan sekrup dan paku-paku. Baik besar ataupun kecil. Biasanya bagian terakhir yang kita pasang dan paling gampang pula adalah triplek penutup sisi belakang. Direkatkan ke bingkai-bingkai utama dengan paku-paku kecil. Itulah mimpi saya: menjadi sebuah paku kecil di belakang itu.

Kembali soal adat dan estetika, bagi saya memang sudah begitu. Soal hormat kepada orang tua, membantu yang susah, apalagi memandang air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, tak menjadi minang pun seyogyanya kita memang sudah harus begitu. Saya yakin dan percaya, masyarakat aztec atau suku inca juga punya nilai yang sama.

Tapi ini soal lain!

Ini soal ulayat, tata cara mengalokasikan tanah garapan oleh mamak kapalo kaum. Kebiasaan acara baralek, batagak pangulu atau tata cara berdukacita dan seterusnya. Apalagi hanya acara barundiang salasai makan, bajalan salapeh arak, soal tempat duduak urang sumando, induak-induak yang hanya mengurus hidangan saja. Lalu ketika keputusan sudah bulat, mamak kepala kaum berteriak ke induak-induak menyuarakan hasil keputusan. Disanalah ia menjadi estetika. Disana juga ia menjadi taplak meja dan pot bunga. Model rumah juga bisa. Kalau masih senang, silakan dipakai. Kalau tak senang lagi, cari model baru.

Thursday, June 28, 2007

Mancigok

Bagi sebagian orang, cerita ini agak sedikit ofensif


Sebagian lelaki minang yang besar di kampung, dimasa remajanya pasti punya pengalaman mengintip lawan jenisnya. Baik sengaja direncanakan atau sengaja karena ada kesempatan. Baik mengintip lawan jenis mandi atau mengintip sebeang kawan sekelas. Terutama, di masa pemandian umum masih ramai digunakan dan ketika di sekolah umum belum banyak perempuan berkerudung.

Saya punya pengalaman unik soal cigok-mancigok ini. Ketika saya tinggal di pinggiran Danau Singkarak, walaupun di rumah sudah ada kamar mandi dan sumur pompa, saya masih sering dengan kawan-kawan mandi di tepian danau. Disana disebut pasia. Sebenarnya tempat mandi laki-laki dan perempuan terpisah. Laki-laki berada di sisi kanan dan permpuan di sisi kiri. Dua sisi ini dipisahkan oleh sebuah surau. Cuma, yang namanya anak kecil jolong gadang, sering juga sekali-kali berenang dekat-dekat tepian perempuan. Di sinilah proses pengintipan dimulai.

Di kampung saya lain lagi, pemandian umum ada dua. Pertama adalah mata air kecil di dasar lereng, kami terbiasa menamakan sumua. Biasanya terletek di pinggir sawah. Tempat kedua adalah tapian batang sinama. Ada bermacam-macam tapian yang saya kenal, yakni tapian godang, tapian aia tajun, tapian muro dan seterusnya. Di sumua ini, biasanya sudah diperuntukkan dengan jelas antara sumuanya laki-laki dan sumuanya perempuan. Kecuali untuk beberapa sumua kecil, biasanya bergantian saja mandi disana. Kalau di tepian batang aia, pemisahan tempat mandi laki dan perempuan tidak begitu jelas. Kalaupun ada, pandangan antar tepian ini tidak begitu tersangkut. Kita masih bisa melihat, siapa saja yang mandi di tepian perempuan.

Di kampung, yang mandi telanjang bulat hanyalah anak-anak kecil. Paling besar mungkin kelas 3 SD. Usia rata-rata orang kampung disunat. Yang lain mandi menggunakan kain basahan. Kalau laki-laki menggunakan celana pendek. Beberapa orang, ada juga yangg menggunakan celana kolor segitiga. Biasanya bermerk Hings atau Swan. Perempuan menggunakan kain basahan berupa sarung, yang disarungkan di bagian atas dada. Walaupun tertutup sopan, tentu saja masih menyisakan sedikit ”sebeang” objek intipan laki-laki kecil jolong gadang atau para gaek-gaek gata. Sebeang-sebeang ini ditambah juga oleh aliran sungai dan gerak si perempuan mandi. Beberapa ada juga yang menggunakan langsung daster/baju lalok untuk mandi di sungai.

Mengintip yang mandi di sungai jauh lebih mudah. Cukup pura-pura berenang ke tengah, bermaksud mencari arus air yang cukup bersih. Lalu mulailah mencuri-curi pandang ke tepian mandi perempuan untuk melihat sebeang. Beberapa orang memang ada yang sengaja mengintip dari balik semak. Biasanya dilakukan oleh laki-laki marando lamo atau gaek-gaek gata. Saya dan kawan-kawan tak pernah melakukan metode pengintipan seperti ini. Amit-amit...

Ini cerita nyata lain lagi. Kejadiannya ketika saya kelas 3 SMP dan sudah mimpi basah pula. Saya sedang libur panjang di kampung. Suatu siang, saya dan kawan-kawan merencanakan mencari pauah. Mencari pauah ini adalah cerita menarik juga, nanti akan saya ceritakan suatu saat. Kembali ke topik. Kali itu, kami berniat mencari puah di sebuah tempat bernama ujuang tanjuang. Untuk ke sana, harus melewati persawahan bernama sawah ilia. Di tengah perjalanan, kami melihat seorang perempuan muda sedang berjalan sendiri menuju sebuah dangau sawah. Let’s say namanya Dewi. Kawan saya berbisik, itu si Dewi sedang mau pacaran tuh, tunggu sebentar lagi akan lewat pacarnya Dewa (nama palsu juga). Lalu kami bersembunyi di balik semak kebun kopi yang tak terurus.

Ternyata benar, sekitar lima belas menit berselang sang arjuna Dewa terlihat berjalan sendiri menuju tempat yang sama dengan Dewi. Kami menunggu beberapa saat sambil menyusun rencana pengintipan. Lima belas menit setelah Dewa, kami pun bergerak menuju tempat yang sama. Mulailah kami bergerak pelan, tanpa menimbulkan derak bunyi apa pun. Mulai merapat ke dinding dangau sawah. Dan memang, Dewa dan Dewi melakukan sebuah pekerjaan purba yang seharusnya disakralkan. Kami mengikuti adegan ini selama 5 menitan. Takut ketahuan, kami pun segara kabur meninggalkan dangau ini. Melanjutkan mencari pauh, sambil terus membicarakan adegan 5 menit tadi. Jujur, waktu itu terangsang juga...;)

Wednesday, June 27, 2007

Adat Hanyalah Estetika

Bagi sebagian orang, cerita ini agak sedikit ofensif.


Bagi saya adat hanyalah estetika. Seperti memilih warna taplak meja dan pot bunga. Kalau suka, tarohlah disana. Tak suka, biarkan saja. Tidak ada konsekuensi apa-apa. Tak membuat masuk penjara, apalagi masuk neraka. Karena yang saya tahu, kalau takut dengan penjara ikuti hukum negara. Kalau urusan dengan neraka, ada namanya hukum agama. Hukum adat? Sekali lagi hanyalah estetika belaka.

Bicara soal estetika adalah bicara tentang sebuah rentetan waktu. Konon dulu dulu perempuan cantik adalah yang bongsor. Sekarang? Perempuan sensitif ditanya berat badan.

Bagi yang mengutamakan fungsi, silakan minimalis. Minimalis juga boleh buat yang beralasan budget rendah. Yang mau ribet dan compilcated, juga silakan. Memang sih, menjadi pusat perhatian ketika kita minimalis di tengah lingkungan complicated dan ribet. Tapi kita boleh kok teriak who's care!! Peduli amat!

Jadi, bagi saya adat ini adalah estetika. Sekarang sih, saya masih melihat sebagian adat kita masih indah. Tidak tahu nanti, apakah masih indah menurut saya. Kalau pun tak berasa indah, saya tinggalkan saja. Atau saya pragmatis memilih saja, yang masih indah saya pakai. Yang menurut saya sudah tak indah, saya tinggalkan saja. Toh zaman selalu dinamis berubah. So what gitu loh!!

Salam

note:
di Tahiti, air juga mengalir ke bawah
disana yang beginian, bisa jadi disebut adat nan sabana adat juga
lalu apa bedanya??
plis deh... hari gini masih berlindung dibalik adat nan ampek
lagian hari gini ngapain masih berkelahi ngomong adat
cape deh...
adat cuma estetika kok! gak jauh beda ama taplak meja dan pot bunga di atasnya

Monday, June 25, 2007

Palangai dan Kabut Pagi

Sendirian menuntun sepeda. Menembus kabut pagi menyadap karet. Suatu ketika. Pada sebuah masa di tahun 80an. Ketika di kampungku: pagi hari selalu berkabut!

Aku memanggilnya Pak Palangai. Anas gelar Sutan Palangai, sampai saat ini aku tidak tahu palangai itu artinya apa. Sedari aku kecil sampai sekarang, tak banyak perubahan garis wajahnya. Gaya hidupnya juga masih sama. Memakai kemeja bergaya safari, berwarna tanah. Peci yang agak kemerahan, dan sebuah sepeda tua. Mendorong sepeda tua, melewati jalan kecil di samping rumah nenek. Menyapa kami yang sedang berkumpul. Kadang ia juga berhenti sebentar, ngobrol dengan ayahku.


Ia adalah teman sepermainan ayahku dari kecil. SR mereka tamatkan bareng. Di desa kami, tahun itu hanya 8 orang yang sampai kelas terakhir SR. Salah satunya Pak Palangai. Kalau ayahku meneruskan ke SMP, tidak begitu dengan Pak Palangai. Ia hanya berijazah SR saja. Baginya sudah cukup. Kalau kata ayahku lain lagi, Pak Palangai merasa percuma meneruskan ke SMP ataupun SMEP, kalau tidak akan meneruskan ke SMA. Ia pesimis dengan alasan latar belakang ekonomi keluarganya.

Pak Palangai dan keluarganya tidak tinggal di pusat kampung. Ia tinggal di pelataran sawah. Tepatnya Sawah tabek. Disana ia tinggal dengan isteri dan kedua orang anak perempuannya. Hari-harinya sangat biasa. Pagi menyadap karet, siang kerja sawah dan kebun palawija. Malamnya, ia akan pergi ke pusat kampung untuk duduk di lapau. Menonton TV bersama-sama warga lain. Beberapa hari sekali, Pak Palangai mengambil aki yang sedang dicharge buat keperluan ia menyetel TV dan Radio di rumah sawahnya. Di hari pakan, Ia punya kesibukan lain. Yakni, mencukur rambut di pasar. Peralatan sederhana, gunting, alat cukur botak manual, kaca ukuran sedang. Di hari pekan ini pula Pak Palangai punya pakaian khusus. Ia memakai baju batik biru korpri. Entah darimana Pak Palangai mendapatkan kemeja ini.

Ketika listrik PLN menerangi nagari kami, jumlah warga yang tinggal di pelataran sawah semakin berkurang. Mereka berbondong-bondong ke pusat kampung (kami biasa menyebutnya koto). Pak Palangai tidak ikut-ikutan. Ia tetap memilih tinggal di sawah. Tetap setia dengan lampu cogok dan TV bersumber listrik aki. Sekali-kali ia menyalakan petromaks bagi warga kampung kami disebut stronkiang.

Kalau kami pulang kampung. Setelah mengunjungi rumah ibunya (nenekku-pen), ayah akan mengunjungi Pak Palangai. Aku sering diajak menuruni bukit kecil menuju sawah Pak Palangai. Dan Pak Palangai sudah tahu, kalau yang datang adalah aku dan ayah. Kalau ia sedang di dalam rumah, ia akan segera keluar. Begitu juga, kalau ia sedang ada di kebun atau sawah. Pekerjaanya langsung ditinggalkan. Ayah pun segera ambil posisi di balai-balai depan rumah sawah Pak Palangai. Aku biasanya ke dapur, ngobrol dengan isterinya sekaligus meminta dipetikkan kelapa muda. Disitulah aku belajar mengupas kelapa muda, dimana teman-temanku di Jakarta ini jarang yang bisa.

Ayah sepertinya sangat menikmati setiap obrolan dengan Pak Palangai. Banyak yang mereka bicarakan. Dimulai dari situasi keluarga besar mereka, lalu situasi nagari kami, sampai pada situasi negeri ini. Komunikasi ini berlangsung dua arah. Pak Palangai sepertinya bisa mengimbangi pembicaraan ayah, padahal dilihat dari pendidikan formal, mereka cukup terpaut jauh. Kalau nangkanya ada yang berbuah dan matang, ayah pasti akan meminta nangka dari kebun Pak Palangai. Kata ayahku, nangka Palangai sangatlah beda dengan dengan lain.

Ketika ayah sudah bermobil dinas kijang merah dan kijang super, tradisi ke rumah Pak Palangai terus berlanjut. Aku juga sudah mulai terlibat dengan percakapan mereka. Di situ aku tahu, pengetahuan pak palangai cukup luas untuk ukuan seorang yang tinggal di pelataran sawah. Analisanya terhadap sebuah isu besar, selalu menarik untuk ditelaah. Aku masih ingat, ketika ribut-ribut pemilihan gubernur di masa periode kedua Hasan Durin, Pak Palangai bilang ke ayahku pasti Durin terpilih lagi. Katanya, untuk sebuah alasan tertentu Durin cukup mantap dalam mengelola konflik. Rudini tak akan cukup untuk mengganjal Durin. Saya bingung, darimana Pak Palangai bisa tahu hal-hal seperti ini. Kemudian aku sadar, Singgalang hasil pinjaman di kantor kepala desa, RRI Programa Padang gelombang 75, dan TVRI sudah cukup memberikan informasi pada beliau. Informasi ini telah menjadi input yang cukup bagi analisa di kepalanya.

Ketika ayahku kehilangan haknya untuk menduduki jabatan struktural karena persoalan bersih lingkungan, Pak Palangai lah yang menasehati ayah untuk pulang kampung saja. Berkebun dan memelihara tabek, bagus buat obat stress katanya. Ia juga yang rutin menyambangi ayah, hanya sekadar untuk bercerita di rumah. Ia juga yang mendorong ayahku, agar aktif di kegiatan publik di nagari kami. Padahal, Pak Palangai tak pernah sekalipun ikut dalam strukutr formal lembaga desa. Pak Palangai yang paling aktif memunculkan semangat dan percaya diri ayah dan kami sekeluarga. Ketika aku libur kuliah dari tanah jawa, Pak palangai pula yang memberikan semangat agar aku tetap fokus dalam sekolah. Urusan kampung dan keluarga, janganlah terlalu dipikirkan. Kami yang di kampung ini sudah terbiasa mengelola seso.

Tujuh tahun setelah itu -tepatnya di era awal Megawati-, ayahku kembali memiliki hak karir birokratnya. Menjadi seorang eselon III di kantor Bupati. Pak Pelangai kembali ke posisi awal, ia kembali larut di sawah dan kebunnya. Ke rumah kami, ia juga menjadi jarang. Takut mengganggu ayahku alasannya. Katanya bolak balik sejauh 60 kilo sehari, pasti membuat ayahku capek. Paling sesekali, isterinya mengantarkan nangka ke rumah kami.

Setelah ayah pensiun di awal tahun ini, Pak Palangai mulai sering ke rumah. Ia banyak membantu ayah dan mamakku dalam meremajakan kebun karet satu setengah hektar kami. Ia selalu menyisihkan seminggu sekali mengunjungi sawah kami. Pak Palangai dan isterinya selalu hadir dalam proses luluak, batanam, basiang, manyabik tahun ini.

Pak Palangai. Sedikit dari orang yang kukenal tanpa pamrih. Begitu menikmati kesederhanaan. Mungkin, baginya ikhlas melepas semua harapan adalah sebuah kebebasan yang indah.

Salam,

==
Minggu lalu, sebuah sms memberi tahu
Tek Ju, isteri Pak Palangai telah meninggal dunia
Perempuan sederhana tempatku sering minta dipetikkan kelapa muda
Berangkat tenang menuju alam sana

Pak Palangai memiliki dua anak perempuan
Yang pertama, bekerja sebagai guru di nagari kami
Yang kedua, saat ini bekerja di sebuah Bank Swasta di Medan

Tuesday, June 12, 2007

Stasiun Doksan

Menelusuri dinginnya kota. Menuju Stasiun Doksan. Satu kilo rasanya tidak terlalu jauh. Dulu waktu SMP, aku biasa berjalan 4 kilo sehari dari dan menuju sekolah. Disini, orang lain juga banyak yang berjalan kaki. Malah banyak yang pakai dasi dan jas pula. Beruntung, tempat umum ada huruf latinnya. Bertanya pada penduduk sering percuma. Sedikit yang mau berbahasa Inggris. Entah karena tidak bisa, atau karena malas berbahasa inggris.

Itu dia stasiun Doksan. Beli tiket 1000 won, sudah bisa kemana saja. Untuk sekali jalan tentunya. Melihat ke peta. Sembilan stasiun selepas ini adalah stasiun Seoul City . Tempatku turun. Maksud hati hari ini hendak melihat Museum Perang Sipil. Berdiri menunggu. Sekaligus bertanya kereta mana yang harus kunaiki. Sebuah kereta peluru lewat ke arah yang lain. Lewat saja tidak berhenti. Itu kereta tujuan Busan. Melaju cepat seperti peluru. Kagum bercampur bengonglah, si sijunjung bersuku kampai ini. Pertama kali ia melihat kereta secepat ini.

Lima menit, kereta yang kutunggu tiba. Segera naik. Mulai menghitung stasiun biar nanti tak terlewat. Kucoba menyapa penumpang lain untuk bertanya. Sayang, semua berlangsung dengan bahasa tarzan. Kok bisa ya, negara ini bisa maju sementara yang bisa bahasa inggris sedikit. Selepas 4 stasiun, kereta mulai masuk ke bawah tanah. Ini sih bukan pengalaman pertama. Pernah juga nyobain dulu di negeri singa.

Entah di stasiun mana, seorang lelaki naik. Sedikit kumal di banding penumpang lain. Berdiri di depanku. Mungkin karena melihat aku membawa peta dengan muka bingung, ia bertanya aku dari mana. Alhamdulillah, ia bisa berbahasa Inggris. Awalnya, ia menyangka aku dari Philipina. Setelah kubilang dari Indonesia, ia mengangguk-angguk. Ia seperti ngeledek ketika menanyakan, apakah di Indonesia ada subway. Sudah begitu, ngomongnya keras dan bau alkohol pula. Tak berminat lagi aku bicara dengannya. Cuma kuingatkan, "kalau sampai stasiun city kasih tau yah!"

Stasiun Seoul City. Aku pun turun. Besar juga ternyata. Belasan pintu keluar dengan berapa lantai juga. Aku baru sadar. Kota ini adalah kawasan greater area kedua terbesar dunia. Nomor satunya Tokyo , lalu Mexico City . New York persis di bawah kota ini. Pantesan stasiun utamanya besar sekali. Aku harus keluar di pintu no 12. Dan mulailah melihat denah stasiun. Udara dingin kembali menyapa. Sebatang Sampoerna Mild mungkin bisa menghangatkan sejenak. Dan mulailah berjalan mencari pintu keluar, dan ternyata cukup jauh. Mesti melewati beberapa kali tangga dan beberapa lorong.

Keluar pintu, segera terlihat sebuah bangunan besar. Museum Perang Sipil Korea. DI depannya berkibar puluhan bendera. Selain bendera korea dan amerika, ada beberapa bendera negara eropa. Mungkin ini negara-negara yang membantu Korea Selatan dalam menghadapi saudaranya di utara sana. Beberapa patung terdapat di halaman. DI samping-sampingnya terdapat berapa pesawat tempur dan angkut militer. Juga terdapat banyak tank-tank militer.

Aku pun masuk ke dalam. Melihat diorama-diorama, foto-foto dan tulisan tentang perang korea. Tentu saja dari kacamata selatan. Di dalam banyak juga turis bule. Dari yang sudah uzur sampai yang masih balita. Mungkin veteran perang yang hendak bernostalgia, sekalian mengajarkan anak cucu tentang perang di semenanjung ini. Perhatianku kembali difokuskan ke sejarah perang ini. Lumayan banyak yang bisa didapat tentang perang sipil saudara ini. Perang yang secara resmi belum berakhir sampai hari ini.

kamsia hamida..

Tanah Ulayat dan de Soto

Saya tidak pernah mempelajari ekonomi secara khusus. Pengetahuan saya soal ekonomi sangatlah terbatas, mungkin mendekati nihil.



Saya pernah mendengar nama Hernando de Soto sekilas. Terutama menyangkut pemikirannya soal kemiskinan di dunia ketiga. Yang katanya disebabkan oleh pola kepemilikan lahan tidak jelas. Lebih banyak secara informal. Ini menyebabkan, akses ke permodalan tidak pernah ada. Kata de Soto pula, Jepang dan Amerika maju karena sistem kepemilikan lahan mereka jelas.



Pertama mendengar gagasan ini, saya langsung ingat pada sistem tanah ulayat pusako tinggi di kampung saya. Dan menurut saya -yang muda mentah ini- sangatlah tidak jelas. Namanya juga tanah komunal, idealnya memang untuk kepentingan komunitas. Tapi prakteknya, subjektivitas penggarapan pasti akan selalu ada. Mamak kepala kaum, mamak kepala waris, para tungganai atau apapun istilahnya tetap akan sulit 100% objektif dalam pendistribusian tanah garapan. Apalagi jika dalam sebuah suku sudah terbagi dalam paruik-paruik, dimana distribusi orang dan lahannya juga akan sulit merata pula.



Mendengar de Soto dan melihat kondisi paruik, suku dan nagari saya. Saya jadinya manggut-manggut. Pantasan kita tidak pernah maju di bidang ekonomi. Di tanah jawa, juga begitu. Kata kawan saya yang orang jawa, kepemilikan tanah juga masih kabur. Katanya akibat culture stelseel zaman dulu. Diaman setelah itu hanya meninggalkan istilah tanah negara, garapan, sultan grant, girik dan sebagainya.



Sekali lagi, saya ingin bertanya kepada anggota milis ini tentang pendapat Mr de Soto ini dan tanah ulayat kita. Maklumlah, saya tak mengerti ekonomi. Tak paham hukum agraria. Yang saya pahami, hanyalah saya tak punya uang.
Dunsanak di kampung banyak yang kere pula.

Thursday, June 7, 2007

Sejenak Melepaskan Keminangkabauan

Mungkin kita memang harus berpikir untuk secara bersamaan menjadi amnesia bahwa kita adalah orang minang. Melepaskan embel-embel orang minang.

Konon katanya, kita baru bisa merasakan pentingnya sesuatu saat kita kehilangan sesuatu tersebut. Kali ini kita mencoba sejenak menghilangkan keminangan kita. Lalu kita renungkan, bagaimana kita sekarang tanpa embel-embel minangkabau. Apakah berbeda nyata pengaruhnya kepada diri kita, keluarga, RT/RW, Kelurahan, dan seterusnya sampai kepada semesta ini.

Pola pelupaan sejenak ini, kita lakukan dengan pendekatan top down. Kita minta tolong Pak Yusuf Kalla mengatakan pada orang rumah beliau, jangan mengaku orang minang dulu. Sehingga beliau otomatis, sementara tidak menjadi orang sumando. Pak Azwar Anas kita minta melepaskan atribut minangkabaunya lengkap dengan gelar Datuak Sulaiman beliau. Lalu dilanjutkan oleh Pak Hasan Basri Durin, Abdul Latief, dan seterusnya. Seratusan Anggota DPR diminta untuk segera mengeluarkan press release, yang isinya bantahan sementara tentang gosip selama ini soal keturunan minang mereka.

Proses ini terus berlanjut kepada organisasi-organisasi minang di rantau. Membekukan diri untuk sementara. Kalau yang sudah punya sekretariat, sementara dijadikan saja dulu warung pecel lele atau warung pembuatan anek juice. Kemudian berlanjut pada individu-indiviud minangkabau. Kalau tetangga dan teman di kantor menanyakan orang mana, jawab saja sekenanya. Jangan lagi menjawab mengaku orang padang.

...................................................................................

Apakah melepaskan keminangan ini mengganggu kita?
Berapa orang di antara kita yang mendadak gila karena tidak menjadi minang lagi?
Berapa orang yang jatuh miskin?
Yang kena TBC, Eksim, Panuan dan seterusnya.

Segera kita bikin dua buah lingkaran perlambang himpunan.
Tak boleh ada irisan!
Lingkaran A: orang minang
Lingkaran B: orang tak minang pun tak apa-apa

Salam

Wednesday, June 6, 2007

Shalat Jumat dan Tebak-Tebak Buah Manggis

Boleh dihitung dengan jari aku melewatkan Shalat Jumat. Bahkan ketika punya alasan sah buat meninggalkan shalat jumat, tetap aku usahakan menjalani Shalat Jumat. Bagiku Shalat Jumat adalah hal yang mengasikkan. Seperti tebak-tebak buah manggis, terutama bagian sebelum khotib naik. Sangat banyak variasi yang aku temui. Bukan bermaksud sombong, aku sudah menunaikan Shalat Jumat di 20 Propinsi dan beberapa negara di Asia.

Masjid-masjid memberikan variasi yang berbeda di bagian pra khutbah dan khutbahnya. Dan aku menikmati proses ini dengan berdebar-debar. Takut pengurus masjidnya kelamaan berbicara atau khotib yang ngomong kepanjangan, monoton dan kadang mulutnya sampai berbuih putih di ujung bibirnya. Atau aku malah menemukan khotib yang isinya berbobot, singkat dan tepat sasaran. Dengan pidato pengurus masjid yang to the point pula.

Di kampungku, ada 3 buah masjid yang rutin melaksanakan shalat jumat. Yang pertama adalah masjid Muhammadiyah, diisi oleh pedagang, pegawai kecamatan, dan keluarga besar bakoku. Soalnya rumah mereka dekat masjid ini. Yang kedua masjid banda malintang, isinya adalah orang di kawasan pinggir kampung dan para musafir. Lokasinya di pinggir jalan besar. Yang ketiga adalah mesjid koto. Dekat dengan rumahku, isinya adalah warga asli nagari kami. Para tetua adat. Inilah masjid resmi nagari. Lokasinya di dekat kantor wali nagari dan kantor KAN.

Masjid Koto punya tradisi yang unik. Khotibnya hanya rotasi dari 3 orang saja. Malin Bungsu, Malin Paduko dan Malin Marajo. Imamnya juga bergilir 2 orang, Mak Etek Idin dan Da Sidang. Muadzinnya juga itu ke itu saja, yaitu Mr Dius atau Saat. Pengurus Masjid yang suka ngomong yang rada banyak, Sailan, Kakekku Jasam, Pakiah Bagindo, Pak Nazar Guru atau Rangkayo Bungsu. Katanya sudah tradisi nagari kami seperti itu. Kepala KUA adalah orang kampung kami asli. Lulusan IAIN ini tidak pernah jadi khotib Jumat di kampung kami, soalnya ia bukan khotib nagari. Ia hanya rutin berkhotbah di masjid-masjid lain.


Acara jumatan di kampungku sangat bertele-tele. Pidato pengurus masjidnya sangat panjang. Belum lagi sekali-kali ada petuah dari Pak Wali Nagari tentang gotong royong dan ini itu segala macamnya. Khotbah jumatnya apalagi. Khotib hanya membaca buku kumpulan khutbah jumat. Stocknya pun tidak seberapa. Gaya membacanya pun kurang meyakinkan. Seperti bernyanyi. Aku saja yang jarang tinggal di kampung, pernah mendengar khutbah yang sama sebanyak 5 kali. Aku ingat betul kata-kata khotibnya, “banyak yang reput (repot-pen), tapi tetap sembayang”.

Ketika kuliah aku suka sholat jumat di kampus dan masjid dekat kos. Kalau di kampus, standar saja lah. Acara dimulai oleh pidato anak DKM, mahasiswa jenggotan, ngomong pelan, celana yang senteng di atas mata kaki. Khotibnya pake bahasa yang tinggi. Seringnya menghujat amerika dan kapitalis, dan menyerukan kembali ke sistem islam. Kalau masjid dekat rumah, biasa masjid kampung. Khotibnya seperti orang pake kerudung. Membawa tongkat pula. Tapi masih pake bahasa Indonesia, kalau di tempatku KKN dulu mereka bergaya sama tapi pakai bahasa arab. Ritual pra khutbahnya, sedikit mirip di kampungku. Bedanya cuma pakai bahasa sunda saja. Situasi seperti ini banyak kita temui di daerah-daerah pedalaman Jawa dan Kalimantan.

Kalau di masjid dekat kantorku, ritualnya mirip-mirip di masjid kampus. Bedanya, yang datang kebanyakan ketika khutbah udah berlangsung seperempatnya. Dan ketika khotib berkutbah, banyak yang jongkok sambil merokok. Untuk khotib, beberapa kali ada beberapa orang nama terkenal. Pilihan kata dan intonasi mereka biasanya mantap-mantap. Terkadang ada juga habib yang berkhotbah. Suaranya sengau arab. Sangat energik berpidato. Terutama pada bagian menentang amerika dan pengaruh televisi.

Pernah aku Shalat Jumat di Beijing saat musim dingin baru berakhir. Masjidnya jauh di pinggir kota, kesananya naik bus dengan beberapa orang kawan. Airnya begitu dingin ketika wudhu. Jamaatnya adalah orang cina dan turunan arab/persia. Pidato pengurus dan khotbah menggunakan bahasa yang aku tak mengerti. Ketika shalat berlangsung, selepas al-fatihah, aku dan kawan-kawan langsung berteriak amin keras-keras, seperti di tanah air. Ternyata disana, jamaahnya hanya diam saja selepas imam membaca al fatihah. Banyak jemaah lain yang menoleh ke kami. Mereka bingung mungkin dengan perangai dan penampakan kami yang berbeda dengan mereka. Abis jumatan, kami pun langsung kabur. Tidak mau dilihat orang-orang dengan sorot mata aneh.

Di pedalaman Cililitan Jakarta beberapa tahun silam. Di sebuah masjid kampung kecil, aku menemukan pengalaman jumatan yang berkesan. Isi khotbahnya sangat menarik hatiku, intinya sebuah ajakan untuk berbuat baik. Mirip-mirip jargon 3 M, AA Gym. Cuma si khotib menyampaikan dengan bahasa yang sangat menarik. Sedikit puitis dan filosofis. Penasaran, aku menunggu beliau di teras selepas sholat di teras masjid. Biasanya abis salam, aku langsung kabur mencari warung buat makan siang, atau pulang ke rumah kalau shalatnya di masjid dekat rumah. Aku ajak beliau bersalaman, kami pun sempat ngobrol sebentar. Lalu ia menanyakan kerja dan kuliahku, lalu ia bilang dulu banyak alumnus tempat kuliahku di tempat kerjanya dulu. Sambil menyebut sebuah perusahaan besar dan terkenal di negeri ini.

Sayang, khotbah seperti di Cililitan tak pernah lagi kudengar. Isi khotbah sekarang, kebanyakan hanya berisi hujatan, cacian dan sikap menyalahkan. Kadang-kadang kepanjangan pula retorika-retorikanya. Jamaah pun lebih memilih lalok-lalok ayam daripada serius mendengarkan. Menebak buah manggis ritual shalat jumat, menjadi tak seru lagi. Sebelum wudhu, aku sudah bisa memperkirakan materi yang disampaikan khotib. Untuk ke depan, memperkirakan jumlah hasil celengan jemaah mungkin lebih menantang. Aku pun bisa terpacu datang duluan ke masjid, biar laporan keuangan pengurus tidak terlewat. Kan yang datang duluan dapat kambing. Hehehehe....

Tuesday, June 5, 2007

Pak Sulan, Tukang Kincir Kakek

Beliau adalah warga nagari sebelah. Nama nagarinya, Guguak. Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Sebagian nagari guguk ini dilewati ruas jalan Tanjung Ampalu-Lintau-Payakumbuh. Koto nagari ini terletak agak di dalam, sekitar 2 kilometer dari ruas jalan raya ini.

Guguak adalah sebuah nagari yang cukup sederhana. Jika keberhasilan perantau dan jumlah PNS, dan tingkat pendidikan formal dijadikan indikator keberhasilan sebuah nagari. Nagari Guguk bisa dibilang agak tertinggal. Tapi keberhasilan dan pencapaian lebih dari sekadar itu semua. Lagian indikator keberhasilan kawasan yang ada saat ini, lebih dilihat dari kacamata kaum kapitalis. Nathan Setiabudi, seorang rohaniawan kristen malah pernah menggugat definisi SDM yang berkembang saat ini. Seseorang hanya dinilai berdasar potensi kapital yang bisa diraih.

Kembali ke sosok Pak Sulan. Ia adalah generasi terakhir kehidupan serba bisa, sebelum era spesifikasi dimulai. Pak Sulan bisa membuat rumah pondok, membuat jaring atau jala ikan, membuat perahu juga bisa, memperbaiki kincir, sepeda rusak pun ia tak akan membawanya ke bengkel. Memasak pun saya rasa Pak Sulan bisa. Sebuah pondok di tengah ladang di pinggir sawah adalah tempat pak Sulan tinggal. Aku ingat betul di tahun 1994, ketika aku SMA aku pernah kesana. Berdua dengan mamakku berjalan kaki empat kilometer, menyampaikan pesan kakek meminta Pak Sulan datang ke rumah.

Pak Sulan adalah tipe orang yang kemana-mana masih memakai sendal jepit, kopiah beludru hitam lusuh kekuningan, baju berwarna gradasi hitam sampai warna celana parmuka dengan celana bahan berwarna sama. Rokok Pak Sulan adalah cerminan dari isi kantongnya. Mulai dari Gudang Garam Surya sampai pada rokok daun nipah.

Ketika itu aku menyampaikan pesan kakek, meminta waktu beliau untuk datang ke kampungku. Minggu depan ada pekerjaan kincir yang rada ribet. Memasang amo-amo. Ia tak banyak bicara pada kami. Hanya mengangguk saja sambil terus menggulung daun nipah bakal dijadikan rokok. Terkesan seperti seorang dukun.

Seminggu setelah itu ia datang ke kampung kami. Berjalan kaki saja. Zaman itu memang belum banyak sepeda motor ataupun ojek. Ia datang sore hari, dan sudah komplit membawa perlengkapan pertukangan beliau beserta pakaian ganti. Rencananya ia akan menginap dua malam di rumah kami. Beliau masih berkesan angker dan sombong. Ia hanya mau bercerita banyak dengan kakekku ia panggil angku. Kakekku dan Pak Sulan, sibuk bercerita apa saja. Kebanyakan mengenai persoalan ternak dan kehidupan keagamaan. Mungkin memang ini topik yang bisa menyatukan kakekku dan Pak Sulan.

Besok paginya, kami semua bergerak ke kincir di Sawah Taruko. Sulan sudah ambil posisi menilik-menilik perumahan kincir kami. Ia juga mulai menginspeksi amo-amo, kayu tempat tatakan amo-amo, sama sumbu baru buat kincir kami. Lagaknya seperti seorang kepala teknik sebuah pabrik melihat anak buahnya bekerja. Aku dan mamakku berbisik-bisik, lihat Pak Profesor Kincir lagi melihat kerja para anak buahnya. Lalu Pak Sulan mulai melakukan pekerjaan, kakekku memposisikan diri sebagai asisten merangkap mandor. Sesuai perintah Pak Sulan, kami disuruh di posisinya masing-masing. Aku kebagian tugas memegang pancang utama kincir bertiga dengan mamak-mamakku yang lain.

Jam makan siang, seluruh amo-amo sudah terpasang di batang besar tatakannya. Hanya ujung-ujungnya belum diikatkan. Lingkaran kincir belum sempurna terbentuk. Dan kami pun mulai makan siang. Makan siang di pinggir kali adalah sebuah kenikmatan. Penuh canda tawa dan obrolan sok tau khas orang minang. Dan, inilah kali pertama aku melihat Pak Sulan ikut nimbrung bicara dengan kami yang muda-muda ini.

Dari percakapan makan siang, aku melihat betapa Pak Sulan sangat menghargai keahliannya sebagai ahli kincir air. Malah sedikit berlebihan. Ia menganggap kincir air adalah penemuan hebat orisinal urang minang. Orang bule pun katanya pernah berdecak kagum melihat kincir buatannya beroperasi. Katanya dulu ada serombongan bule mamudiak batang ombilin dan sinama. Asumsi saya sih, orang yang lagi survay geologi. Sempat berhenti di Kincir Pak Sulan, dan katanya bule itu terkagum-kagum melihat cara kerjanya. Terutama ketika Pak Sulan mengerjakan pekerjaan mengganti batang sumbu kincir. Tanpa menurunkan kincirnya terlebih dahulu.

Selesai Pak Sulan bercerita, mamak saya ngoceh pelan. “Mano pulo ka heran bana bule jo kincia ko, basi se lai bisa dibueknyo tabang”.

Tapi apapun itu, Pak Sulan adalah orang yang sangat mencintai dan bangga dengan profesinya. Walaupun itu hanya sebatas kincir air.

UBGB

Note:
Model Kincir Air Sinamar & Ombilin Air ini, sudah dibuat versi bajanya oleh PT Freeport Indonesia di Mile 21, Timika, Papua. Konon, engineernya berkunjung ke Sumbar untuk mempelajari bentuk kincirnya.

Monday, June 4, 2007

Kincir Air untuk Sawahku

Kami punya sebidang sawah di pinggir batang sinamar. Sebenarnya bukan sawah kaum saya, itu adalah sawah kaum malayu. Cuma sudah sekian lama tapandam pada kaum kami. Namanya sawah taruko, luasnya sekitar satu setengah hektar. Hanya ada 3 petak sawah, untuk hamparan seluas itu. Di kampung saya disebut Lupak. Yang terluas adalah lupak godang, luasannya sekitar satu hektar. Sisanya adalah lupak muko bosuik dan lupak panjang.

Karena berada di pinggir sungai, tekstur tanahnya sedikit berpasir. Akibatnya, air tak bisa bertahan lama di sawah. Merembes ke dalam tanah. Sehingga demand sawah ini akan air sangatlah tinggi. Air banda tak pernah cukup. Sehingga dibutuhkan irigasi tambahan untuk mengairi sawah. Beruntung sawah ini terletak di pinggir sungai. Parumahan untuk kincirnya juga cukup baik. Air deras, tebing lumayan curam, bisa dimasuki mobil pula walaupun jalan tanah.

Aku sering menemani kakek memperbaiki kincir. Terutama ketika pulang kampung disaat musim libur tiba. Kalau ketika libur tiba, pekerjaan di sekitar kincir sangatlah menyenangkan. Karena banyak bermain airnya. Tapi ketika kami sudah tinggal di kampung, pekerjaan ini terasa berat dan menjemukan. Bermain air tak lagi indah.

Kincir air terdiri dari berbagai bagian. Cuma, tidak semuanya istilah teknisnya saya bisa ingat lagi. Yang saya ingat hanyalah bosuik, amo-amo, lantak, kabuang dan palanta kincia. Yang lain saya lupa. Bosuik adalah pipa bambu yang mengaliri air ke sawah. Amo-amo adalah semacam jari-jari pada kincir. Lantak, kabuang dan palanta saya rasa kita semua sudah tahu. Untuk amo-amo ini aku punya cerita banyak. Setiap kincir biasanya akan mengganti seluruh amo-amo ini setahun sekali. Masanya bagi kincir untuk over haul.

Amo-amo terbuat dari kayu, lurus berdiameter 5-7 cm. Kayu ini bukan kayu biasa, haruslah kayu yang kuat. Dan jenis kayu amo-amo ini sudah tidak ada lagi di tengah kampung. Mencarinya harus di hutan primer. Karena biasanya kayu di hutan primer, lurus, teksturnya kuat. Mungkin karena efek kompetisi memperebutkan hara dan sinar matahari. Tempat yang biasa kami kunjungi mencari amo-amo ini adalah di sebuah bukit di pinggir kampung. Biasanya mamak-mamak, urang sumando, anak pisang berkumpul pada suatu hari untuk mencari amo-amo. Satu hari disisihkan untuk berangkat ke bukit. Membawa peralatan perang. Mengambil amo-amo secukupnya. Diturunkan ke bawah bukit dan ditumpuk dipinggir jalan. Dan nanti akan tiba mobil menjemput.

Setelah itu, amo-amo akan dipotong sama panjang sesuai jari-jari kincir yang akan dibuat. Lalu direndam selama seminggu di sungai. Baru amo-amo siap di pasang. Amo-amo akan dipasang di sebuah dudukan yang istilah teknisnya saya lupa. Dudukan ini terbuat dari sebuah potongan kayu besar, sepelukan orang dewasa. Dibuat bulat, tengahnya dibolongi buat bakal sumbu kincir, Bagian luarnya akan dipahat berlubang petak-petak, tempat amo-amo akan ditancapkan. Kakekku biasanya membuat sendiri dudukan ini. Kalau waktu mepet, beliau akan meminta bantuan Angku Sulan dari kampung sebelah(Nama aslinya Ruslan). Aku dan mamak-mamakku, memanggil Angku Sulan ini Profesor Kincir. Karena beliau memang cukup mumpuni mengurusi kincir.

Seminggu amo-amo direndam, adalah waktu menyiapkan kabuang, palanta kincir, basuik dan sebagainya. Aku hanya bisa mengerjakan pembuatan basuik. Bambu dipotong-potong sepanjang dua meter. Lalu dibolongi, dengan dilantak pakai suli. Trus ujungnya dipapat-papat agar bisa masuk ke potongan bambu lain. Tak lupa, buku-buku di ruas bambu dihilangkan. Sebagai pencegah kebocoran di sambungan, digunakanlah sabut kelapa.

Setelah semua selesai. Kincir siap ditegakkan. Pak Sulan pun tiba dari kampungnya. Lalu mulai memasang amo-amo. Kabuang. Rotan pengikat ujung amo-amo. Memasang anyaman bambu di sela amo-amo agar air bisa memutar kincir. Ketika kincir mulai berputar, kabung mulai dipasang dan air bisa masuk ke bak penampung di atas rasa cape langsung hilang. Tinggal kaji menurun memasang basuik dan memastikan tak ada kebocoran sampai kesawah. Sawah mulai tergenang. Buat lumpur dan benih pun siap disemai.


****
Hari ini kincir itu masih berdiri.
Bersela berputar seiring musim tanam
Menunggu masa tergilas peradaban

Kampungku dan Adatnya

Walaupun secara administratif, kampungku terletak di Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung tapi menurut tetua kampung termasuk Luhak Tanah Datar. Sebenarnya masuk akal saja, karena kampungku berbatas langsung dengan Tanah Datar. Soal kelarasan, aku tidak begitu tahu, apakah kampungku berlaraskan Bodi Chaniago atau Koto Piliang.

Di nagariku ada sembilan suku, yakni Malayu, Kampai Tolang, Kampai Ombak, Kandang Jua, Patopang, Cikarau, Piliang IV Rumah, Piliang III Rumah, dan Chaniago. Aku sendiri bersuku Kampai Tolang dan babako ke Malayu. Sembilan suku ini terbagi 2 membentuk semacam asosiasi bernama sapamalayuan dan sapiliangan. Empat suku pertama masuk ke Sapamalayuan dan sisanya adalah Sapiliangan.

Setiap suku memiliki perangkat ampek jinih, yakni Pangulu, Manti, Malin dan Dubalang. Kampai Tolang sukuku, pangulunya bergelar Datuak Rajo Bagagah. Malinnya bergelar Khatib Dubalang, Mantinya Gaga Marajo dan Dubalangnya adalah Dubalang Sutan, mamak kandungku. Sapamalayuan juga memiliki semacam ampek jinih juga, yang diambil dari suku-suku anggotanya. Misalnya, yang menjadi pengulu adalah Datuak Sampono Marajo pangulunya urang Malayu. Malinnya diambil dari kampai ombak, mantinya adalah manti kampai tolang dan dubalangnya dari Kandang Jua.

Di luar itu, nagari kami juga memiliki 3 orang inyiak. Konon ketiga inyiak ini dulu yang manaruko nagari kami untuk pertama kali. Tiga inyiak ini dipimpin oleh inyiak pucuak bergelar Datuak Cumano (Inyiak Cumano), yang merupakan orang Kampai Tolang. Dua orang yang lain adalah Inyiak Rangkayo Bungsu dan Inyak Majo Lelo. Dua inyiak yang kedua ini merangkap juga sebagai pangulu di sukunya masing-masing.

Cukup kompleks memang.

Kata ayahku, di zaman dulu sering sekali diadakan pertandingan bola antar surau. Dimulai pertandingan antar suku sesama balahan sapamaluan atau sapiliangan. Jarang berkelahi. Setelah dilanjutkan antar balahan. Biasanya diakhiri dengan perkelahian. Tapi karena sudah menjadi tradisi bocah-bocah, perkelahian ini ditanggapi biasa saja.

Setiap suku tentu memiliki bermacam-macam suduik. Di kampungku disebut rumah. Rumah ini dipanggil berdasarkan pemangku adat utama di kaum tersebut. Misalnya rumahku, di sebut rumahnya Dubalang Sutan. Bagi rumah yang tidak memiliki perwakilan di barisan empat jinih, dipanggil berdasarkan pemangku gelar yang lain, biasanya yang paling tua. Misalnya rumah pandito mudo.

Sistem warih bajawek untuk masing-masing gelar adalah berdasarkan rumah suduik mereka. Aku tidak akan mungkin menjadi Pangulu, Manti ataupun Malin. Karena di rumahku hanya ada Dubalang. Jadi level tertinggi yang mungkin aku raih hanyalah gelar Dubalang Sutan.

Kehadiran empat jinih sangat mutlak untuk acara-acara penting, terutama pernikahan. Untuk sukuku, malah menjadi lima. Karena Inyiak Cumano, pemimpin nagari ada di sukuku. Tanpa kehadiran lengkap mereka pada sebuah acara pernikahan, jangan harap para tetamu sekampung akan menyantap nasi. Akan dibilang, “yang patuik tampak ndak nampak”. Biasanya kalau sudah kejadian begini, pihak tuan rumah akan menyodorkan carano ke tengah tamu. Pertanda minta maaf, sekaligus pemberitahuan kalau di keluarga kami sedang ada masalah dengan para pemimpin kaum. Ini sering jadi bahan kuncian (kartu as) bagi para niniak mamak untuk para keponakannya yang bandel.

Lalu bagaimana jika salah satu empat jinih ada yang merantau? Bukan masalah, karena biasanya dia berwakil ke kemenaknnya yang dikampung. Panungkek istilah lainnya.

Pengalaman terakhirku berurusan dengan kaum adat ini adalah ketika kaum kami punya permasalahan tanah dengan suku malayu. Suku Bapakku. Kedua kaum ini mengklaim sebagai pemilik sah pasa taranak di mudiak pasa. Dan kedua suku ini sepakat mencoba melalu jalan perundingan adat. Sungguh sebuah penyelesaian yang sangat unik.

Prosesnya dimulai dari perundingan yang melelahkan. Bergantian tempatnya antara rumah kami dan rumah kaum melayu. Dan tak juga menemui kata sepakat. Lalu karena, kami masih satu balahan sapamalayuan. Masalah ini dibawah ke dewan sapamalayuan. Untuk urusan tanah seperti ini diserahkan kepada Tuo Taratak Gindo Sutan, mantinya kaum kampai ombak. Dan masalah ini juga tidak bisa beliau putuskan. Akhirnya diserahkan kepada Inyiak Cumano.

Walaupun inyiak cumano, satu suku denganku. Beliau berjanji netral menyelesaikan masalah ini. Dan beliau memutuskan, bahwa segala perundingan akan dilaksanakan di lokasi perkara. Disinilah aku pernah hadir beberapa waktu. Dan mulailah beberapa kali kami datang lokasi, ibu-ibu menyiapkan makanan. Sebelum berangkat, kami kaum kampai tolanh rumah dubalang sutan melakukan konsolidasi. Lobi ke inyiak cumano. Rencana akting marah-marah dan seterusnya. Cukup seru.

Dimana ayahku dalam posisi ini. Beliau tidak pernah hadir dalam rapat konsolidasi kita. Di kaumnya pun beliau seperti menarik diri, beliau bilang urusan kantor lagi banyak. Tapi ibuku selalu mengupdate status pada beliau. Apakah beliau bercerita juga pada dunsanaknya, aku tak pernah tahu. Tapi rasanya beliau bisa menyimpan rahasia.

Setelah beberapa kali bersidang, lengkap dengan intrik-intrik dan ketegangannya. Tibalah hari keputusan Inyiak Cumano. Dimulai dengan petatah petitih tak tanggung panjangnya. Ia pun mulau menyurahkan riwayat tanah nagari kami. Bagaimana dulu apra tetua kampung membagi tanah-tanah lengkap dengan riwayat gadai, solang (pinjam-red) dan tralala-trilili lainnya. Akhirnya diputuskan bahwa pemilik sah tanah ini adalah kaum suku malayu. Dan kami pun lemas semuanya. Untungnya, kami bisa menerima kekalahan ini dan tidak berusaha meneruskan kasus ini menjadi kasus perdata di pengadilan.