Orang eskimo punya banyak nama untuk varian salju. Orang-orang bermakan pokok beras, juga punya bermacam-macam nama bagi benda-benda yang dinamakan orang inggris hanya "rice". Orang China juga punya hal yang sama untuk makhluk berkategori bambu. Begitu juga orang minang. Bambu punya banyak varian yang berkata tunggal. Mulai dari rabuang, talang, aua, pariang dan seterusnya.
Pariang adalah sejenis bambu yang biasa yang sering dijadikan bahan dasar membuat layang-layang. Terutama alang-alang darek. Selanjutnya akan saya sebut saja layangan saja. Pariang adalah sejenis bambu berukuran sedang, berbuku panjang dan memiliki kelenturan tinggi. Sehingga, pariang sangat cocok dibuat sebagai layangan.
Di kampung saya pariang tidak banyak tumbuh, beda halnya dengan batuang yang bisa ditemui di banyak tempat. Di pekarangan belakang rumah saya sekarang saja, ada rumpun batuang. Seingat saya pariang hanya tumbuh di tiga tempat. Pertama di rumah bako saya, dipinggir sawah godang. Yang kedua di daerah sawah laweh, dan ketiga di kawasan sawah bungo. Enaknya tinggal di kampung, kita tak perlu membeli pariang perbekal layangan. Cukup meminta pada yang punya, kita sudah boleh langsung menebang pariang. Kalau pun tidak meminta, juga tidak apa-apa. Pariang sepertinya sudah menjadi milik bersama. Beda halnya dengan ubi kayu, yang secara konvensi diakui sebagai milik yang punya tanah atau yang menanam. Tapi pada prakteknya, anak muda seperti bersaing dengan babi hutan untuk menguasai ubi kayu yang ada di sebuah kebun.
Bulan Juni-Juli adalah bulan liburan sekolah. Biasanya kita menyebutnya libur panjang, pakansi panjang dan sebagainya. Di masa kecil, saya sangat menanti-nantikan masa liburan ini, karena saya pasti akan pulang kampung. Ini adalah masa yang indah, biasanya bulan ini jatuh pada musim kemarau. Padi telah selesai dipanen, pohon karet sedang berganti daun, petani libur menyadap. Sungai di kampung kami pun sedang sangat bagus-bagusnya buat dijadikan tempat mandi. Airnya tidak terlalu besar dan keruh. Jadi, sungai akan selalu ramai sepanjang hari. Mulai dari anak-anak sampai urang nan jolong gadang, bahkan para gaek yang lagi marando tagang.
Salah satu kegiatan yang cukup digemari di periode ini adalah main layangan. Ada beberapa tempat yang diminati sebagai arena bermain layangan. Yang pertama lapangan bola di tengah kampung. Lalu lapangan bola biaro dan ketiga di sawah gadang. Saya belajar membuat layangan pada Mr Buyuang Ladang, pada sebuah liburan kenaikan kelas SD di tahun 1988. Awalnya masih membuat alang-alang maco. Benang yang dipakai juga masih benang cap jaguang. Bukan benang nilon seperti yang lain. Tahun berikutnya, barulah saya diajarkan membuat alang-alang darek.
Ketika sudah SMP, saya sudah cukup lihai membuat layangan. Bersama dua orang mamak, saya mulai menjual layangan. Biasanya kami pasarkan pada anak-anak pegawai negeri di kampung kami. Mulai dari anak Pak Camat, Pak Polisi sampai anak guru-guru. Kalau anak kampung kami agak gengsi membeli layangan. Kalaupun tidak bisa, mereka cukup minta dibuatkan ke buyuang ladang. Pulangnya diberikan sebungkus Comodore atau Gudang Garam Filter.
Tahun berikutnya, kami mulai melakukan ekspansi bisnis layangan. Wilayah kampung dirasa sangat tidak cocok untuk bisnis ini. Penetrasi pasar sudah sangat tinggi, pemain juga banyak. In term of Quality, juga kami kesulitan bersaing. Kami mulai membidik pasar baru. Kali ini tidak lah tanggung-tanggung, langsung menyerbu ibukota propinsi. Cuma kami tidak menjual dalam bentuk barang jadi, yang kami bisniskan adalah bahan baku. Yaitu: Pariang! Seminggu dalam liburan, kami pergi ke Padang buat berjualan pariang. Pariang kami potong dan belah sepanjang dua ruas, seukuran bilah buat pagar. Untuk keperluan ini, kami membuat deal dengan keluarga bako saya dalam pengadaan pariang ini. Saya lupa harga per batangnya. Yang jelas, kami ketika itu menjual sebilahnya di Padang sebesar 1500 - 2000 rupiah. Seminggu di Padang, kami bisa membawa uang 2 jutaan.
Jadi, kalau dunsanak pernah tinggal di Wisma Indah III dan IV. Atau yang tinggal di komplek Jondul Rawang di era 1990 - 1995, mungkin kita pernah berbisnis. Dan kala itu, saya cukup senang berbisnis dengan anda.
Salam
UBGB
http://ubgb.blogspot.com/
Pariang adalah sejenis bambu yang biasa yang sering dijadikan bahan dasar membuat layang-layang. Terutama alang-alang darek. Selanjutnya akan saya sebut saja layangan saja. Pariang adalah sejenis bambu berukuran sedang, berbuku panjang dan memiliki kelenturan tinggi. Sehingga, pariang sangat cocok dibuat sebagai layangan.
Di kampung saya pariang tidak banyak tumbuh, beda halnya dengan batuang yang bisa ditemui di banyak tempat. Di pekarangan belakang rumah saya sekarang saja, ada rumpun batuang. Seingat saya pariang hanya tumbuh di tiga tempat. Pertama di rumah bako saya, dipinggir sawah godang. Yang kedua di daerah sawah laweh, dan ketiga di kawasan sawah bungo. Enaknya tinggal di kampung, kita tak perlu membeli pariang perbekal layangan. Cukup meminta pada yang punya, kita sudah boleh langsung menebang pariang. Kalau pun tidak meminta, juga tidak apa-apa. Pariang sepertinya sudah menjadi milik bersama. Beda halnya dengan ubi kayu, yang secara konvensi diakui sebagai milik yang punya tanah atau yang menanam. Tapi pada prakteknya, anak muda seperti bersaing dengan babi hutan untuk menguasai ubi kayu yang ada di sebuah kebun.
Bulan Juni-Juli adalah bulan liburan sekolah. Biasanya kita menyebutnya libur panjang, pakansi panjang dan sebagainya. Di masa kecil, saya sangat menanti-nantikan masa liburan ini, karena saya pasti akan pulang kampung. Ini adalah masa yang indah, biasanya bulan ini jatuh pada musim kemarau. Padi telah selesai dipanen, pohon karet sedang berganti daun, petani libur menyadap. Sungai di kampung kami pun sedang sangat bagus-bagusnya buat dijadikan tempat mandi. Airnya tidak terlalu besar dan keruh. Jadi, sungai akan selalu ramai sepanjang hari. Mulai dari anak-anak sampai urang nan jolong gadang, bahkan para gaek yang lagi marando tagang.
Salah satu kegiatan yang cukup digemari di periode ini adalah main layangan. Ada beberapa tempat yang diminati sebagai arena bermain layangan. Yang pertama lapangan bola di tengah kampung. Lalu lapangan bola biaro dan ketiga di sawah gadang. Saya belajar membuat layangan pada Mr Buyuang Ladang, pada sebuah liburan kenaikan kelas SD di tahun 1988. Awalnya masih membuat alang-alang maco. Benang yang dipakai juga masih benang cap jaguang. Bukan benang nilon seperti yang lain. Tahun berikutnya, barulah saya diajarkan membuat alang-alang darek.
Ketika sudah SMP, saya sudah cukup lihai membuat layangan. Bersama dua orang mamak, saya mulai menjual layangan. Biasanya kami pasarkan pada anak-anak pegawai negeri di kampung kami. Mulai dari anak Pak Camat, Pak Polisi sampai anak guru-guru. Kalau anak kampung kami agak gengsi membeli layangan. Kalaupun tidak bisa, mereka cukup minta dibuatkan ke buyuang ladang. Pulangnya diberikan sebungkus Comodore atau Gudang Garam Filter.
Tahun berikutnya, kami mulai melakukan ekspansi bisnis layangan. Wilayah kampung dirasa sangat tidak cocok untuk bisnis ini. Penetrasi pasar sudah sangat tinggi, pemain juga banyak. In term of Quality, juga kami kesulitan bersaing. Kami mulai membidik pasar baru. Kali ini tidak lah tanggung-tanggung, langsung menyerbu ibukota propinsi. Cuma kami tidak menjual dalam bentuk barang jadi, yang kami bisniskan adalah bahan baku. Yaitu: Pariang! Seminggu dalam liburan, kami pergi ke Padang buat berjualan pariang. Pariang kami potong dan belah sepanjang dua ruas, seukuran bilah buat pagar. Untuk keperluan ini, kami membuat deal dengan keluarga bako saya dalam pengadaan pariang ini. Saya lupa harga per batangnya. Yang jelas, kami ketika itu menjual sebilahnya di Padang sebesar 1500 - 2000 rupiah. Seminggu di Padang, kami bisa membawa uang 2 jutaan.
Jadi, kalau dunsanak pernah tinggal di Wisma Indah III dan IV. Atau yang tinggal di komplek Jondul Rawang di era 1990 - 1995, mungkin kita pernah berbisnis. Dan kala itu, saya cukup senang berbisnis dengan anda.
Salam
UBGB
http://ubgb.blogspot.com/