Wednesday, August 15, 2007

Pulang Kampung (Surat Untuk Seorang Perantau)

Assalamualaikum,
Dunsanak,
Sama seperti anda, saya juga perantau. Saya berada dalam barisan besar gerombol orang minangkabau yang disebut perantau. Merantau sebenarnya adalah pilihan terakhir buat saya. Kalau boleh memilih, sebenarnya saya ingin tinggal di kampung. Mengurus sawah, parak gatah dan sekali-kali mencari ikan di batang sinama. Namun apa daya, orang tua menyekolahkan ke tanah jawa. Keinginan pun menjadi berubah. Sisi materialistis telah muncul menjadi sebuah hal yang sangat penting. Keinginan sederhana masa kecil telah dikalahkan oleh hasrat untuk mencari bentuk kesuksean lain berupa materi dan posisi publik.

Telah menjadi kebiasaan saya sejak bekerja dan lulus sekolah untuk pulang kampung tiga bulan sekali. Tetap ada sisi romantis dalam diri ini untuk tetap mengunjungi kampung tercinta. Setahun pertama, kepulangan saya ke kampung baru sebatas berkumpul dengan keluarga dan teman-teman lama. Kesan pamer tak bisa dihindari. Saya sudah merasa paling hebat dibanding orang-orang kampung. Kerjaan saya hilir mudik, trus nongkrong di lapau. Setiap menit saya benar-benar begitu menikmati sapaan “Hey, bilo tibo? Iyo alah sanang kini yo?”. Tak peduli sapaan itu benar-benar tulus atau hanya basa basi belaka. Yang penting saya benar-benar jadi besar kepala. Kebetulan rumah kami bertetangga dengan rumah wali nagari, setiap pulang selalu saya sempatkan main ke sana. Di depan Pak Wali saya kembali terlihat sok hebat. Saya berkoar-koar menyampaikan nasehat buat kemajuan kampung ini. Dan kembali saya tetap tak peduli, apakah pak wali benar-benar tulus mendengarkan atau tertawa dalam hati.

Beberapa teman-teman lama pengurus karang taruna semangat pula mengajak saya berdiskusi. Pernah pula saya diajak beraudiensi dengan Pak Camat. Bahkan saya diminta untuk menyusun proposal menyusun feasibility study proyek kelompok usaha ikan keramba milik Karang Taruna. Modalnya berasal dari Dinas Koperasi Kabupaten. Seperti biasa, proyek ini hanya berlangsung satu siklus produksi saja. Namun tak apalah, sebagian uang pakan ikan ada dibelikan ke bola voli dan biaya organ tunggal malam hiburan. Di acara itu, saya sempatkan pula membeli singgang ayam lewat acara lelang.


Dunsanak,
Setelah sekian kali saya pulang kampung. Saya mulai bosan dengan public appereance seperti yang sudah-sudah. Kebosanan ini sengaja dibikin pedih oleh garah kudo seorang teman di lapau yang katanya saya hanya mampasamak kampuang dan mampadiah parasaan urang kampuang. Segera saya teringat ungkapan seorang teman di sebuah milis yang katanya, orang rantau minang hanya bisa membuat orang-orang minang yang ada di kampung punya hasrat ikut-ikutan merantau. Atau, mereka tak mampu membuat orang-orang berhenti merantau. Ucapan ini sangat terasa benarnya. Saat ini kampung kita benar-benar sekarat, yang hidupnya cukup lumayan tinggal kelompok pegawai negeri dan birokrat lainnya. Secara ekonomi kampung kita sudah sakit.


Dunsanak,
Saya bukanlah perantau sesukses anda, apalagi kalau indikator kesukesan berbentuk materi dan kedudukan. Saya sangatlah jauh di bawah. Tapi di balik kecilnya peran sosial dan terbatasnya materi, saya mulai mencoba bergerak nyata di kampung saya. Soal hasil, itu urusan nomor dua. Setiap kepulangan berikut, saya mencoba melakukan sesuati yang lebih nyata. Terutama untuk keluarga satu rumpun dulu. Mulailah kami berkolam ikan dan pelihara bebek. Semua tak pernah lagi melibatkan Pak Walinagari termasuk Karang Taruna juga. Duduak di lapau atau hilia mudiak keliling kampung pun sudah saya kurangi. Saya baru sadar, kepuasan terhadap achievement kita terletak pada hati nurani kita sendiri, bukan pada ekspose media apalagi penerimaan penguasa.


Wassalam

No comments: