Thursday, April 3, 2008

Melawat Jiran

Bulan maret ini saya harus dua kali membayar fiskal kepada negara. Kedua-duanya karena melawat ke negara jiran, dima visa sudah tidak diperlukan lagi. Kunjungan ke negara pertama adalah sebuah tugas kantor, yang mau tak mau harus dipenuhi. Lagian saya memang cukup lama juga tidak menyambangi. Sekali-kali kita memang perlu juga meyambangi "red dot-nya habibie" ini. Mentune-up jiwa kita akan sebuah kerapihan dan sebuah keseriusan pemerintahan. Tapi jangan lama-lama tinggal disana. Sensitivitas humanistik kita bisa menurun. Bisa jadi akan bermuara pada sebuah kekakuan dan kegaringan.

Belanja di Singapura adalah pilihan terakhir aktifitas saya selama di sana. Tak perlu lagi biasanya kita membahas bagaimana pola dan tingkah laku kebanyakan orang Indonesia dalam berbelanja di sana. Apalagi di musim, sale-salean tiba. Sudah banyak yang membahas dan mengomentari itu. Dan sialnya, saya pernah menjadi bagian dari team provokator orang-orang Indonesia agar menggila dalam berbelanja. Di perjalanan kemarin itu, saya hanya membeli sekantung coklat, sebuah tas untuk orang tersayang dan beberapa buku cerita.

Negeri "red dot" ini masih seperti biasa saya lihat. On weekdays, penduduk asli terlihat sibuk mondar-mandir di pagi dan sore hari. Di akhir pekan, negara kota ini sudah dipenuhi oleh pelancong belanja-yang kebanyakan dari Indonesia. Atau para tenaga kerja asing, yang sedang pesiar sekadar cuci mata atau mencari tambatan hati. Jadi ingat pada sebuah penggalan masa, ketika menjadi tenaga kerja asing disana. Ketika memamerkan tempat gedung kantor, flat dan jenis pekerjaan adalah sebuah kebanggaan tersendiri kepada mbak-mbak di Lucky Plaza. Menikmati keterperangahan mereka tentang betapa beruntungya si Sijunjung norak ini. Tapi ya sudahlah, itu hanyalah masa lalu dari cerita jiwa yang masih sangat muda.

Dua minggu berlepas, jiran lain saya jelang. Sebuah jiran yang saya benci dan juga saya bangga. Saya banggakan mereka karena bisa membuktikan orang melayu juga bisa maju dan diatur. Walaupun selentingan saya dengar, melayu-melayu asli sana semakin malas dan manja saja. Saya membenci karena kok mereka bisa maju, sementara guru saja mereka pernah mengimpor dari kita. Kok bisa ya, orang yang sama-sama suka Kangen Band, Matta, Ungu, Radja dst bisa lebih maju daripada kita. Kalau soal mereka menyolong-nyolong budaya kita mah, saya tidak peduli. Kita aja yang bego. Tak bisa memanfaatkannya.

Perlawatan ke KL adalah sebuah kegiatan iseng-iseng berhadiah. Bahasa Sijunjungnya, side job atau mencari other income. Mumpung di Indonesia sedang libur panjang, lalu di Malaysia ada perhelatan balap bernama Formula Satu. Seperti standarnya orang-orang kaya (juga setengah kaya) Indonesia, tentu mereka ingin sekali menyaksikan balapan ini. Tak peduli mereka tahu apa itu F1, siapa itu Kimi, Force India dan sebagainya. Kalau Hamilton ya semua mungkin tahu, orang kulit hitam pertama yang membalap di F1. Tapi itu tidak menjadi penting. Yang penting presence. Foto sana foto sini di circuit. Beli merchandise (dengan mengomel tentunya karena mahal). Semua sudah cukup. Yang penting, ketika orang ngoceh tentang Sepang. Kita ngoceh juga.

Berawal dari ajakan seorang kawan agar saya menemani menjadi salah satu kru yang mengurus perjalanan mereka. Saya pun mengiyakan. Lumayanlah, dapat uang saku dan jalan-jalan ke luar negeri pula. Akhirnya berangkat lah saya. Sekitar tiga hari saya mendampingi mereka. Menjadi orang yang sok tahu, mencoba memahami keinginan presence-presence mereka.


Foto disana, foto disini. Ceritanya antar belanja. Sedikit belanja banyak fotonya. Tapi tak apalah, yang penting semuanya bahagia. Everybody happy! Malaysia happy, ekonominya bertumbuh. Indonesia senang, dapat fiskal sejuta per kepala. Ditambah alasan PR (Public Realtion-pen) pemerintah, bahwa ekonomi kita juga tumbuh. Buktinya jumlah kunjungan ke luar negeri meningkat. Siapa bilang pemerintah tak bekerja. Saya juga dapat uang saku. Bisnis kawan saya tetap bisa berjalan. Walaupun seorang kawan mengatakan saya sedikit mengeringkan perekonomian Indonesia, uang malah dibawa keluar. Coba biaya orang ke Sepang diconvert jadi cendol dan martabak, berapa tukang martabak dan cendol yang akan kaya. Ia benar. Tapi saya sudah ilfil ama negara ini.