Thursday, June 28, 2007

Mancigok

Bagi sebagian orang, cerita ini agak sedikit ofensif


Sebagian lelaki minang yang besar di kampung, dimasa remajanya pasti punya pengalaman mengintip lawan jenisnya. Baik sengaja direncanakan atau sengaja karena ada kesempatan. Baik mengintip lawan jenis mandi atau mengintip sebeang kawan sekelas. Terutama, di masa pemandian umum masih ramai digunakan dan ketika di sekolah umum belum banyak perempuan berkerudung.

Saya punya pengalaman unik soal cigok-mancigok ini. Ketika saya tinggal di pinggiran Danau Singkarak, walaupun di rumah sudah ada kamar mandi dan sumur pompa, saya masih sering dengan kawan-kawan mandi di tepian danau. Disana disebut pasia. Sebenarnya tempat mandi laki-laki dan perempuan terpisah. Laki-laki berada di sisi kanan dan permpuan di sisi kiri. Dua sisi ini dipisahkan oleh sebuah surau. Cuma, yang namanya anak kecil jolong gadang, sering juga sekali-kali berenang dekat-dekat tepian perempuan. Di sinilah proses pengintipan dimulai.

Di kampung saya lain lagi, pemandian umum ada dua. Pertama adalah mata air kecil di dasar lereng, kami terbiasa menamakan sumua. Biasanya terletek di pinggir sawah. Tempat kedua adalah tapian batang sinama. Ada bermacam-macam tapian yang saya kenal, yakni tapian godang, tapian aia tajun, tapian muro dan seterusnya. Di sumua ini, biasanya sudah diperuntukkan dengan jelas antara sumuanya laki-laki dan sumuanya perempuan. Kecuali untuk beberapa sumua kecil, biasanya bergantian saja mandi disana. Kalau di tepian batang aia, pemisahan tempat mandi laki dan perempuan tidak begitu jelas. Kalaupun ada, pandangan antar tepian ini tidak begitu tersangkut. Kita masih bisa melihat, siapa saja yang mandi di tepian perempuan.

Di kampung, yang mandi telanjang bulat hanyalah anak-anak kecil. Paling besar mungkin kelas 3 SD. Usia rata-rata orang kampung disunat. Yang lain mandi menggunakan kain basahan. Kalau laki-laki menggunakan celana pendek. Beberapa orang, ada juga yangg menggunakan celana kolor segitiga. Biasanya bermerk Hings atau Swan. Perempuan menggunakan kain basahan berupa sarung, yang disarungkan di bagian atas dada. Walaupun tertutup sopan, tentu saja masih menyisakan sedikit ”sebeang” objek intipan laki-laki kecil jolong gadang atau para gaek-gaek gata. Sebeang-sebeang ini ditambah juga oleh aliran sungai dan gerak si perempuan mandi. Beberapa ada juga yang menggunakan langsung daster/baju lalok untuk mandi di sungai.

Mengintip yang mandi di sungai jauh lebih mudah. Cukup pura-pura berenang ke tengah, bermaksud mencari arus air yang cukup bersih. Lalu mulailah mencuri-curi pandang ke tepian mandi perempuan untuk melihat sebeang. Beberapa orang memang ada yang sengaja mengintip dari balik semak. Biasanya dilakukan oleh laki-laki marando lamo atau gaek-gaek gata. Saya dan kawan-kawan tak pernah melakukan metode pengintipan seperti ini. Amit-amit...

Ini cerita nyata lain lagi. Kejadiannya ketika saya kelas 3 SMP dan sudah mimpi basah pula. Saya sedang libur panjang di kampung. Suatu siang, saya dan kawan-kawan merencanakan mencari pauah. Mencari pauah ini adalah cerita menarik juga, nanti akan saya ceritakan suatu saat. Kembali ke topik. Kali itu, kami berniat mencari puah di sebuah tempat bernama ujuang tanjuang. Untuk ke sana, harus melewati persawahan bernama sawah ilia. Di tengah perjalanan, kami melihat seorang perempuan muda sedang berjalan sendiri menuju sebuah dangau sawah. Let’s say namanya Dewi. Kawan saya berbisik, itu si Dewi sedang mau pacaran tuh, tunggu sebentar lagi akan lewat pacarnya Dewa (nama palsu juga). Lalu kami bersembunyi di balik semak kebun kopi yang tak terurus.

Ternyata benar, sekitar lima belas menit berselang sang arjuna Dewa terlihat berjalan sendiri menuju tempat yang sama dengan Dewi. Kami menunggu beberapa saat sambil menyusun rencana pengintipan. Lima belas menit setelah Dewa, kami pun bergerak menuju tempat yang sama. Mulailah kami bergerak pelan, tanpa menimbulkan derak bunyi apa pun. Mulai merapat ke dinding dangau sawah. Dan memang, Dewa dan Dewi melakukan sebuah pekerjaan purba yang seharusnya disakralkan. Kami mengikuti adegan ini selama 5 menitan. Takut ketahuan, kami pun segara kabur meninggalkan dangau ini. Melanjutkan mencari pauh, sambil terus membicarakan adegan 5 menit tadi. Jujur, waktu itu terangsang juga...;)

Wednesday, June 27, 2007

Adat Hanyalah Estetika

Bagi sebagian orang, cerita ini agak sedikit ofensif.


Bagi saya adat hanyalah estetika. Seperti memilih warna taplak meja dan pot bunga. Kalau suka, tarohlah disana. Tak suka, biarkan saja. Tidak ada konsekuensi apa-apa. Tak membuat masuk penjara, apalagi masuk neraka. Karena yang saya tahu, kalau takut dengan penjara ikuti hukum negara. Kalau urusan dengan neraka, ada namanya hukum agama. Hukum adat? Sekali lagi hanyalah estetika belaka.

Bicara soal estetika adalah bicara tentang sebuah rentetan waktu. Konon dulu dulu perempuan cantik adalah yang bongsor. Sekarang? Perempuan sensitif ditanya berat badan.

Bagi yang mengutamakan fungsi, silakan minimalis. Minimalis juga boleh buat yang beralasan budget rendah. Yang mau ribet dan compilcated, juga silakan. Memang sih, menjadi pusat perhatian ketika kita minimalis di tengah lingkungan complicated dan ribet. Tapi kita boleh kok teriak who's care!! Peduli amat!

Jadi, bagi saya adat ini adalah estetika. Sekarang sih, saya masih melihat sebagian adat kita masih indah. Tidak tahu nanti, apakah masih indah menurut saya. Kalau pun tak berasa indah, saya tinggalkan saja. Atau saya pragmatis memilih saja, yang masih indah saya pakai. Yang menurut saya sudah tak indah, saya tinggalkan saja. Toh zaman selalu dinamis berubah. So what gitu loh!!

Salam

note:
di Tahiti, air juga mengalir ke bawah
disana yang beginian, bisa jadi disebut adat nan sabana adat juga
lalu apa bedanya??
plis deh... hari gini masih berlindung dibalik adat nan ampek
lagian hari gini ngapain masih berkelahi ngomong adat
cape deh...
adat cuma estetika kok! gak jauh beda ama taplak meja dan pot bunga di atasnya

Monday, June 25, 2007

Palangai dan Kabut Pagi

Sendirian menuntun sepeda. Menembus kabut pagi menyadap karet. Suatu ketika. Pada sebuah masa di tahun 80an. Ketika di kampungku: pagi hari selalu berkabut!

Aku memanggilnya Pak Palangai. Anas gelar Sutan Palangai, sampai saat ini aku tidak tahu palangai itu artinya apa. Sedari aku kecil sampai sekarang, tak banyak perubahan garis wajahnya. Gaya hidupnya juga masih sama. Memakai kemeja bergaya safari, berwarna tanah. Peci yang agak kemerahan, dan sebuah sepeda tua. Mendorong sepeda tua, melewati jalan kecil di samping rumah nenek. Menyapa kami yang sedang berkumpul. Kadang ia juga berhenti sebentar, ngobrol dengan ayahku.


Ia adalah teman sepermainan ayahku dari kecil. SR mereka tamatkan bareng. Di desa kami, tahun itu hanya 8 orang yang sampai kelas terakhir SR. Salah satunya Pak Palangai. Kalau ayahku meneruskan ke SMP, tidak begitu dengan Pak Palangai. Ia hanya berijazah SR saja. Baginya sudah cukup. Kalau kata ayahku lain lagi, Pak Palangai merasa percuma meneruskan ke SMP ataupun SMEP, kalau tidak akan meneruskan ke SMA. Ia pesimis dengan alasan latar belakang ekonomi keluarganya.

Pak Palangai dan keluarganya tidak tinggal di pusat kampung. Ia tinggal di pelataran sawah. Tepatnya Sawah tabek. Disana ia tinggal dengan isteri dan kedua orang anak perempuannya. Hari-harinya sangat biasa. Pagi menyadap karet, siang kerja sawah dan kebun palawija. Malamnya, ia akan pergi ke pusat kampung untuk duduk di lapau. Menonton TV bersama-sama warga lain. Beberapa hari sekali, Pak Palangai mengambil aki yang sedang dicharge buat keperluan ia menyetel TV dan Radio di rumah sawahnya. Di hari pakan, Ia punya kesibukan lain. Yakni, mencukur rambut di pasar. Peralatan sederhana, gunting, alat cukur botak manual, kaca ukuran sedang. Di hari pekan ini pula Pak Palangai punya pakaian khusus. Ia memakai baju batik biru korpri. Entah darimana Pak Palangai mendapatkan kemeja ini.

Ketika listrik PLN menerangi nagari kami, jumlah warga yang tinggal di pelataran sawah semakin berkurang. Mereka berbondong-bondong ke pusat kampung (kami biasa menyebutnya koto). Pak Palangai tidak ikut-ikutan. Ia tetap memilih tinggal di sawah. Tetap setia dengan lampu cogok dan TV bersumber listrik aki. Sekali-kali ia menyalakan petromaks bagi warga kampung kami disebut stronkiang.

Kalau kami pulang kampung. Setelah mengunjungi rumah ibunya (nenekku-pen), ayah akan mengunjungi Pak Palangai. Aku sering diajak menuruni bukit kecil menuju sawah Pak Palangai. Dan Pak Palangai sudah tahu, kalau yang datang adalah aku dan ayah. Kalau ia sedang di dalam rumah, ia akan segera keluar. Begitu juga, kalau ia sedang ada di kebun atau sawah. Pekerjaanya langsung ditinggalkan. Ayah pun segera ambil posisi di balai-balai depan rumah sawah Pak Palangai. Aku biasanya ke dapur, ngobrol dengan isterinya sekaligus meminta dipetikkan kelapa muda. Disitulah aku belajar mengupas kelapa muda, dimana teman-temanku di Jakarta ini jarang yang bisa.

Ayah sepertinya sangat menikmati setiap obrolan dengan Pak Palangai. Banyak yang mereka bicarakan. Dimulai dari situasi keluarga besar mereka, lalu situasi nagari kami, sampai pada situasi negeri ini. Komunikasi ini berlangsung dua arah. Pak Palangai sepertinya bisa mengimbangi pembicaraan ayah, padahal dilihat dari pendidikan formal, mereka cukup terpaut jauh. Kalau nangkanya ada yang berbuah dan matang, ayah pasti akan meminta nangka dari kebun Pak Palangai. Kata ayahku, nangka Palangai sangatlah beda dengan dengan lain.

Ketika ayah sudah bermobil dinas kijang merah dan kijang super, tradisi ke rumah Pak Palangai terus berlanjut. Aku juga sudah mulai terlibat dengan percakapan mereka. Di situ aku tahu, pengetahuan pak palangai cukup luas untuk ukuan seorang yang tinggal di pelataran sawah. Analisanya terhadap sebuah isu besar, selalu menarik untuk ditelaah. Aku masih ingat, ketika ribut-ribut pemilihan gubernur di masa periode kedua Hasan Durin, Pak Palangai bilang ke ayahku pasti Durin terpilih lagi. Katanya, untuk sebuah alasan tertentu Durin cukup mantap dalam mengelola konflik. Rudini tak akan cukup untuk mengganjal Durin. Saya bingung, darimana Pak Palangai bisa tahu hal-hal seperti ini. Kemudian aku sadar, Singgalang hasil pinjaman di kantor kepala desa, RRI Programa Padang gelombang 75, dan TVRI sudah cukup memberikan informasi pada beliau. Informasi ini telah menjadi input yang cukup bagi analisa di kepalanya.

Ketika ayahku kehilangan haknya untuk menduduki jabatan struktural karena persoalan bersih lingkungan, Pak Palangai lah yang menasehati ayah untuk pulang kampung saja. Berkebun dan memelihara tabek, bagus buat obat stress katanya. Ia juga yang rutin menyambangi ayah, hanya sekadar untuk bercerita di rumah. Ia juga yang mendorong ayahku, agar aktif di kegiatan publik di nagari kami. Padahal, Pak Palangai tak pernah sekalipun ikut dalam strukutr formal lembaga desa. Pak Palangai yang paling aktif memunculkan semangat dan percaya diri ayah dan kami sekeluarga. Ketika aku libur kuliah dari tanah jawa, Pak palangai pula yang memberikan semangat agar aku tetap fokus dalam sekolah. Urusan kampung dan keluarga, janganlah terlalu dipikirkan. Kami yang di kampung ini sudah terbiasa mengelola seso.

Tujuh tahun setelah itu -tepatnya di era awal Megawati-, ayahku kembali memiliki hak karir birokratnya. Menjadi seorang eselon III di kantor Bupati. Pak Pelangai kembali ke posisi awal, ia kembali larut di sawah dan kebunnya. Ke rumah kami, ia juga menjadi jarang. Takut mengganggu ayahku alasannya. Katanya bolak balik sejauh 60 kilo sehari, pasti membuat ayahku capek. Paling sesekali, isterinya mengantarkan nangka ke rumah kami.

Setelah ayah pensiun di awal tahun ini, Pak Palangai mulai sering ke rumah. Ia banyak membantu ayah dan mamakku dalam meremajakan kebun karet satu setengah hektar kami. Ia selalu menyisihkan seminggu sekali mengunjungi sawah kami. Pak Palangai dan isterinya selalu hadir dalam proses luluak, batanam, basiang, manyabik tahun ini.

Pak Palangai. Sedikit dari orang yang kukenal tanpa pamrih. Begitu menikmati kesederhanaan. Mungkin, baginya ikhlas melepas semua harapan adalah sebuah kebebasan yang indah.

Salam,

==
Minggu lalu, sebuah sms memberi tahu
Tek Ju, isteri Pak Palangai telah meninggal dunia
Perempuan sederhana tempatku sering minta dipetikkan kelapa muda
Berangkat tenang menuju alam sana

Pak Palangai memiliki dua anak perempuan
Yang pertama, bekerja sebagai guru di nagari kami
Yang kedua, saat ini bekerja di sebuah Bank Swasta di Medan

Tuesday, June 12, 2007

Stasiun Doksan

Menelusuri dinginnya kota. Menuju Stasiun Doksan. Satu kilo rasanya tidak terlalu jauh. Dulu waktu SMP, aku biasa berjalan 4 kilo sehari dari dan menuju sekolah. Disini, orang lain juga banyak yang berjalan kaki. Malah banyak yang pakai dasi dan jas pula. Beruntung, tempat umum ada huruf latinnya. Bertanya pada penduduk sering percuma. Sedikit yang mau berbahasa Inggris. Entah karena tidak bisa, atau karena malas berbahasa inggris.

Itu dia stasiun Doksan. Beli tiket 1000 won, sudah bisa kemana saja. Untuk sekali jalan tentunya. Melihat ke peta. Sembilan stasiun selepas ini adalah stasiun Seoul City . Tempatku turun. Maksud hati hari ini hendak melihat Museum Perang Sipil. Berdiri menunggu. Sekaligus bertanya kereta mana yang harus kunaiki. Sebuah kereta peluru lewat ke arah yang lain. Lewat saja tidak berhenti. Itu kereta tujuan Busan. Melaju cepat seperti peluru. Kagum bercampur bengonglah, si sijunjung bersuku kampai ini. Pertama kali ia melihat kereta secepat ini.

Lima menit, kereta yang kutunggu tiba. Segera naik. Mulai menghitung stasiun biar nanti tak terlewat. Kucoba menyapa penumpang lain untuk bertanya. Sayang, semua berlangsung dengan bahasa tarzan. Kok bisa ya, negara ini bisa maju sementara yang bisa bahasa inggris sedikit. Selepas 4 stasiun, kereta mulai masuk ke bawah tanah. Ini sih bukan pengalaman pertama. Pernah juga nyobain dulu di negeri singa.

Entah di stasiun mana, seorang lelaki naik. Sedikit kumal di banding penumpang lain. Berdiri di depanku. Mungkin karena melihat aku membawa peta dengan muka bingung, ia bertanya aku dari mana. Alhamdulillah, ia bisa berbahasa Inggris. Awalnya, ia menyangka aku dari Philipina. Setelah kubilang dari Indonesia, ia mengangguk-angguk. Ia seperti ngeledek ketika menanyakan, apakah di Indonesia ada subway. Sudah begitu, ngomongnya keras dan bau alkohol pula. Tak berminat lagi aku bicara dengannya. Cuma kuingatkan, "kalau sampai stasiun city kasih tau yah!"

Stasiun Seoul City. Aku pun turun. Besar juga ternyata. Belasan pintu keluar dengan berapa lantai juga. Aku baru sadar. Kota ini adalah kawasan greater area kedua terbesar dunia. Nomor satunya Tokyo , lalu Mexico City . New York persis di bawah kota ini. Pantesan stasiun utamanya besar sekali. Aku harus keluar di pintu no 12. Dan mulailah melihat denah stasiun. Udara dingin kembali menyapa. Sebatang Sampoerna Mild mungkin bisa menghangatkan sejenak. Dan mulailah berjalan mencari pintu keluar, dan ternyata cukup jauh. Mesti melewati beberapa kali tangga dan beberapa lorong.

Keluar pintu, segera terlihat sebuah bangunan besar. Museum Perang Sipil Korea. DI depannya berkibar puluhan bendera. Selain bendera korea dan amerika, ada beberapa bendera negara eropa. Mungkin ini negara-negara yang membantu Korea Selatan dalam menghadapi saudaranya di utara sana. Beberapa patung terdapat di halaman. DI samping-sampingnya terdapat berapa pesawat tempur dan angkut militer. Juga terdapat banyak tank-tank militer.

Aku pun masuk ke dalam. Melihat diorama-diorama, foto-foto dan tulisan tentang perang korea. Tentu saja dari kacamata selatan. Di dalam banyak juga turis bule. Dari yang sudah uzur sampai yang masih balita. Mungkin veteran perang yang hendak bernostalgia, sekalian mengajarkan anak cucu tentang perang di semenanjung ini. Perhatianku kembali difokuskan ke sejarah perang ini. Lumayan banyak yang bisa didapat tentang perang sipil saudara ini. Perang yang secara resmi belum berakhir sampai hari ini.

kamsia hamida..

Tanah Ulayat dan de Soto

Saya tidak pernah mempelajari ekonomi secara khusus. Pengetahuan saya soal ekonomi sangatlah terbatas, mungkin mendekati nihil.



Saya pernah mendengar nama Hernando de Soto sekilas. Terutama menyangkut pemikirannya soal kemiskinan di dunia ketiga. Yang katanya disebabkan oleh pola kepemilikan lahan tidak jelas. Lebih banyak secara informal. Ini menyebabkan, akses ke permodalan tidak pernah ada. Kata de Soto pula, Jepang dan Amerika maju karena sistem kepemilikan lahan mereka jelas.



Pertama mendengar gagasan ini, saya langsung ingat pada sistem tanah ulayat pusako tinggi di kampung saya. Dan menurut saya -yang muda mentah ini- sangatlah tidak jelas. Namanya juga tanah komunal, idealnya memang untuk kepentingan komunitas. Tapi prakteknya, subjektivitas penggarapan pasti akan selalu ada. Mamak kepala kaum, mamak kepala waris, para tungganai atau apapun istilahnya tetap akan sulit 100% objektif dalam pendistribusian tanah garapan. Apalagi jika dalam sebuah suku sudah terbagi dalam paruik-paruik, dimana distribusi orang dan lahannya juga akan sulit merata pula.



Mendengar de Soto dan melihat kondisi paruik, suku dan nagari saya. Saya jadinya manggut-manggut. Pantasan kita tidak pernah maju di bidang ekonomi. Di tanah jawa, juga begitu. Kata kawan saya yang orang jawa, kepemilikan tanah juga masih kabur. Katanya akibat culture stelseel zaman dulu. Diaman setelah itu hanya meninggalkan istilah tanah negara, garapan, sultan grant, girik dan sebagainya.



Sekali lagi, saya ingin bertanya kepada anggota milis ini tentang pendapat Mr de Soto ini dan tanah ulayat kita. Maklumlah, saya tak mengerti ekonomi. Tak paham hukum agraria. Yang saya pahami, hanyalah saya tak punya uang.
Dunsanak di kampung banyak yang kere pula.

Thursday, June 7, 2007

Sejenak Melepaskan Keminangkabauan

Mungkin kita memang harus berpikir untuk secara bersamaan menjadi amnesia bahwa kita adalah orang minang. Melepaskan embel-embel orang minang.

Konon katanya, kita baru bisa merasakan pentingnya sesuatu saat kita kehilangan sesuatu tersebut. Kali ini kita mencoba sejenak menghilangkan keminangan kita. Lalu kita renungkan, bagaimana kita sekarang tanpa embel-embel minangkabau. Apakah berbeda nyata pengaruhnya kepada diri kita, keluarga, RT/RW, Kelurahan, dan seterusnya sampai kepada semesta ini.

Pola pelupaan sejenak ini, kita lakukan dengan pendekatan top down. Kita minta tolong Pak Yusuf Kalla mengatakan pada orang rumah beliau, jangan mengaku orang minang dulu. Sehingga beliau otomatis, sementara tidak menjadi orang sumando. Pak Azwar Anas kita minta melepaskan atribut minangkabaunya lengkap dengan gelar Datuak Sulaiman beliau. Lalu dilanjutkan oleh Pak Hasan Basri Durin, Abdul Latief, dan seterusnya. Seratusan Anggota DPR diminta untuk segera mengeluarkan press release, yang isinya bantahan sementara tentang gosip selama ini soal keturunan minang mereka.

Proses ini terus berlanjut kepada organisasi-organisasi minang di rantau. Membekukan diri untuk sementara. Kalau yang sudah punya sekretariat, sementara dijadikan saja dulu warung pecel lele atau warung pembuatan anek juice. Kemudian berlanjut pada individu-indiviud minangkabau. Kalau tetangga dan teman di kantor menanyakan orang mana, jawab saja sekenanya. Jangan lagi menjawab mengaku orang padang.

...................................................................................

Apakah melepaskan keminangan ini mengganggu kita?
Berapa orang di antara kita yang mendadak gila karena tidak menjadi minang lagi?
Berapa orang yang jatuh miskin?
Yang kena TBC, Eksim, Panuan dan seterusnya.

Segera kita bikin dua buah lingkaran perlambang himpunan.
Tak boleh ada irisan!
Lingkaran A: orang minang
Lingkaran B: orang tak minang pun tak apa-apa

Salam

Wednesday, June 6, 2007

Shalat Jumat dan Tebak-Tebak Buah Manggis

Boleh dihitung dengan jari aku melewatkan Shalat Jumat. Bahkan ketika punya alasan sah buat meninggalkan shalat jumat, tetap aku usahakan menjalani Shalat Jumat. Bagiku Shalat Jumat adalah hal yang mengasikkan. Seperti tebak-tebak buah manggis, terutama bagian sebelum khotib naik. Sangat banyak variasi yang aku temui. Bukan bermaksud sombong, aku sudah menunaikan Shalat Jumat di 20 Propinsi dan beberapa negara di Asia.

Masjid-masjid memberikan variasi yang berbeda di bagian pra khutbah dan khutbahnya. Dan aku menikmati proses ini dengan berdebar-debar. Takut pengurus masjidnya kelamaan berbicara atau khotib yang ngomong kepanjangan, monoton dan kadang mulutnya sampai berbuih putih di ujung bibirnya. Atau aku malah menemukan khotib yang isinya berbobot, singkat dan tepat sasaran. Dengan pidato pengurus masjid yang to the point pula.

Di kampungku, ada 3 buah masjid yang rutin melaksanakan shalat jumat. Yang pertama adalah masjid Muhammadiyah, diisi oleh pedagang, pegawai kecamatan, dan keluarga besar bakoku. Soalnya rumah mereka dekat masjid ini. Yang kedua masjid banda malintang, isinya adalah orang di kawasan pinggir kampung dan para musafir. Lokasinya di pinggir jalan besar. Yang ketiga adalah mesjid koto. Dekat dengan rumahku, isinya adalah warga asli nagari kami. Para tetua adat. Inilah masjid resmi nagari. Lokasinya di dekat kantor wali nagari dan kantor KAN.

Masjid Koto punya tradisi yang unik. Khotibnya hanya rotasi dari 3 orang saja. Malin Bungsu, Malin Paduko dan Malin Marajo. Imamnya juga bergilir 2 orang, Mak Etek Idin dan Da Sidang. Muadzinnya juga itu ke itu saja, yaitu Mr Dius atau Saat. Pengurus Masjid yang suka ngomong yang rada banyak, Sailan, Kakekku Jasam, Pakiah Bagindo, Pak Nazar Guru atau Rangkayo Bungsu. Katanya sudah tradisi nagari kami seperti itu. Kepala KUA adalah orang kampung kami asli. Lulusan IAIN ini tidak pernah jadi khotib Jumat di kampung kami, soalnya ia bukan khotib nagari. Ia hanya rutin berkhotbah di masjid-masjid lain.


Acara jumatan di kampungku sangat bertele-tele. Pidato pengurus masjidnya sangat panjang. Belum lagi sekali-kali ada petuah dari Pak Wali Nagari tentang gotong royong dan ini itu segala macamnya. Khotbah jumatnya apalagi. Khotib hanya membaca buku kumpulan khutbah jumat. Stocknya pun tidak seberapa. Gaya membacanya pun kurang meyakinkan. Seperti bernyanyi. Aku saja yang jarang tinggal di kampung, pernah mendengar khutbah yang sama sebanyak 5 kali. Aku ingat betul kata-kata khotibnya, “banyak yang reput (repot-pen), tapi tetap sembayang”.

Ketika kuliah aku suka sholat jumat di kampus dan masjid dekat kos. Kalau di kampus, standar saja lah. Acara dimulai oleh pidato anak DKM, mahasiswa jenggotan, ngomong pelan, celana yang senteng di atas mata kaki. Khotibnya pake bahasa yang tinggi. Seringnya menghujat amerika dan kapitalis, dan menyerukan kembali ke sistem islam. Kalau masjid dekat rumah, biasa masjid kampung. Khotibnya seperti orang pake kerudung. Membawa tongkat pula. Tapi masih pake bahasa Indonesia, kalau di tempatku KKN dulu mereka bergaya sama tapi pakai bahasa arab. Ritual pra khutbahnya, sedikit mirip di kampungku. Bedanya cuma pakai bahasa sunda saja. Situasi seperti ini banyak kita temui di daerah-daerah pedalaman Jawa dan Kalimantan.

Kalau di masjid dekat kantorku, ritualnya mirip-mirip di masjid kampus. Bedanya, yang datang kebanyakan ketika khutbah udah berlangsung seperempatnya. Dan ketika khotib berkutbah, banyak yang jongkok sambil merokok. Untuk khotib, beberapa kali ada beberapa orang nama terkenal. Pilihan kata dan intonasi mereka biasanya mantap-mantap. Terkadang ada juga habib yang berkhotbah. Suaranya sengau arab. Sangat energik berpidato. Terutama pada bagian menentang amerika dan pengaruh televisi.

Pernah aku Shalat Jumat di Beijing saat musim dingin baru berakhir. Masjidnya jauh di pinggir kota, kesananya naik bus dengan beberapa orang kawan. Airnya begitu dingin ketika wudhu. Jamaatnya adalah orang cina dan turunan arab/persia. Pidato pengurus dan khotbah menggunakan bahasa yang aku tak mengerti. Ketika shalat berlangsung, selepas al-fatihah, aku dan kawan-kawan langsung berteriak amin keras-keras, seperti di tanah air. Ternyata disana, jamaahnya hanya diam saja selepas imam membaca al fatihah. Banyak jemaah lain yang menoleh ke kami. Mereka bingung mungkin dengan perangai dan penampakan kami yang berbeda dengan mereka. Abis jumatan, kami pun langsung kabur. Tidak mau dilihat orang-orang dengan sorot mata aneh.

Di pedalaman Cililitan Jakarta beberapa tahun silam. Di sebuah masjid kampung kecil, aku menemukan pengalaman jumatan yang berkesan. Isi khotbahnya sangat menarik hatiku, intinya sebuah ajakan untuk berbuat baik. Mirip-mirip jargon 3 M, AA Gym. Cuma si khotib menyampaikan dengan bahasa yang sangat menarik. Sedikit puitis dan filosofis. Penasaran, aku menunggu beliau di teras selepas sholat di teras masjid. Biasanya abis salam, aku langsung kabur mencari warung buat makan siang, atau pulang ke rumah kalau shalatnya di masjid dekat rumah. Aku ajak beliau bersalaman, kami pun sempat ngobrol sebentar. Lalu ia menanyakan kerja dan kuliahku, lalu ia bilang dulu banyak alumnus tempat kuliahku di tempat kerjanya dulu. Sambil menyebut sebuah perusahaan besar dan terkenal di negeri ini.

Sayang, khotbah seperti di Cililitan tak pernah lagi kudengar. Isi khotbah sekarang, kebanyakan hanya berisi hujatan, cacian dan sikap menyalahkan. Kadang-kadang kepanjangan pula retorika-retorikanya. Jamaah pun lebih memilih lalok-lalok ayam daripada serius mendengarkan. Menebak buah manggis ritual shalat jumat, menjadi tak seru lagi. Sebelum wudhu, aku sudah bisa memperkirakan materi yang disampaikan khotib. Untuk ke depan, memperkirakan jumlah hasil celengan jemaah mungkin lebih menantang. Aku pun bisa terpacu datang duluan ke masjid, biar laporan keuangan pengurus tidak terlewat. Kan yang datang duluan dapat kambing. Hehehehe....

Tuesday, June 5, 2007

Pak Sulan, Tukang Kincir Kakek

Beliau adalah warga nagari sebelah. Nama nagarinya, Guguak. Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Sebagian nagari guguk ini dilewati ruas jalan Tanjung Ampalu-Lintau-Payakumbuh. Koto nagari ini terletak agak di dalam, sekitar 2 kilometer dari ruas jalan raya ini.

Guguak adalah sebuah nagari yang cukup sederhana. Jika keberhasilan perantau dan jumlah PNS, dan tingkat pendidikan formal dijadikan indikator keberhasilan sebuah nagari. Nagari Guguk bisa dibilang agak tertinggal. Tapi keberhasilan dan pencapaian lebih dari sekadar itu semua. Lagian indikator keberhasilan kawasan yang ada saat ini, lebih dilihat dari kacamata kaum kapitalis. Nathan Setiabudi, seorang rohaniawan kristen malah pernah menggugat definisi SDM yang berkembang saat ini. Seseorang hanya dinilai berdasar potensi kapital yang bisa diraih.

Kembali ke sosok Pak Sulan. Ia adalah generasi terakhir kehidupan serba bisa, sebelum era spesifikasi dimulai. Pak Sulan bisa membuat rumah pondok, membuat jaring atau jala ikan, membuat perahu juga bisa, memperbaiki kincir, sepeda rusak pun ia tak akan membawanya ke bengkel. Memasak pun saya rasa Pak Sulan bisa. Sebuah pondok di tengah ladang di pinggir sawah adalah tempat pak Sulan tinggal. Aku ingat betul di tahun 1994, ketika aku SMA aku pernah kesana. Berdua dengan mamakku berjalan kaki empat kilometer, menyampaikan pesan kakek meminta Pak Sulan datang ke rumah.

Pak Sulan adalah tipe orang yang kemana-mana masih memakai sendal jepit, kopiah beludru hitam lusuh kekuningan, baju berwarna gradasi hitam sampai warna celana parmuka dengan celana bahan berwarna sama. Rokok Pak Sulan adalah cerminan dari isi kantongnya. Mulai dari Gudang Garam Surya sampai pada rokok daun nipah.

Ketika itu aku menyampaikan pesan kakek, meminta waktu beliau untuk datang ke kampungku. Minggu depan ada pekerjaan kincir yang rada ribet. Memasang amo-amo. Ia tak banyak bicara pada kami. Hanya mengangguk saja sambil terus menggulung daun nipah bakal dijadikan rokok. Terkesan seperti seorang dukun.

Seminggu setelah itu ia datang ke kampung kami. Berjalan kaki saja. Zaman itu memang belum banyak sepeda motor ataupun ojek. Ia datang sore hari, dan sudah komplit membawa perlengkapan pertukangan beliau beserta pakaian ganti. Rencananya ia akan menginap dua malam di rumah kami. Beliau masih berkesan angker dan sombong. Ia hanya mau bercerita banyak dengan kakekku ia panggil angku. Kakekku dan Pak Sulan, sibuk bercerita apa saja. Kebanyakan mengenai persoalan ternak dan kehidupan keagamaan. Mungkin memang ini topik yang bisa menyatukan kakekku dan Pak Sulan.

Besok paginya, kami semua bergerak ke kincir di Sawah Taruko. Sulan sudah ambil posisi menilik-menilik perumahan kincir kami. Ia juga mulai menginspeksi amo-amo, kayu tempat tatakan amo-amo, sama sumbu baru buat kincir kami. Lagaknya seperti seorang kepala teknik sebuah pabrik melihat anak buahnya bekerja. Aku dan mamakku berbisik-bisik, lihat Pak Profesor Kincir lagi melihat kerja para anak buahnya. Lalu Pak Sulan mulai melakukan pekerjaan, kakekku memposisikan diri sebagai asisten merangkap mandor. Sesuai perintah Pak Sulan, kami disuruh di posisinya masing-masing. Aku kebagian tugas memegang pancang utama kincir bertiga dengan mamak-mamakku yang lain.

Jam makan siang, seluruh amo-amo sudah terpasang di batang besar tatakannya. Hanya ujung-ujungnya belum diikatkan. Lingkaran kincir belum sempurna terbentuk. Dan kami pun mulai makan siang. Makan siang di pinggir kali adalah sebuah kenikmatan. Penuh canda tawa dan obrolan sok tau khas orang minang. Dan, inilah kali pertama aku melihat Pak Sulan ikut nimbrung bicara dengan kami yang muda-muda ini.

Dari percakapan makan siang, aku melihat betapa Pak Sulan sangat menghargai keahliannya sebagai ahli kincir air. Malah sedikit berlebihan. Ia menganggap kincir air adalah penemuan hebat orisinal urang minang. Orang bule pun katanya pernah berdecak kagum melihat kincir buatannya beroperasi. Katanya dulu ada serombongan bule mamudiak batang ombilin dan sinama. Asumsi saya sih, orang yang lagi survay geologi. Sempat berhenti di Kincir Pak Sulan, dan katanya bule itu terkagum-kagum melihat cara kerjanya. Terutama ketika Pak Sulan mengerjakan pekerjaan mengganti batang sumbu kincir. Tanpa menurunkan kincirnya terlebih dahulu.

Selesai Pak Sulan bercerita, mamak saya ngoceh pelan. “Mano pulo ka heran bana bule jo kincia ko, basi se lai bisa dibueknyo tabang”.

Tapi apapun itu, Pak Sulan adalah orang yang sangat mencintai dan bangga dengan profesinya. Walaupun itu hanya sebatas kincir air.

UBGB

Note:
Model Kincir Air Sinamar & Ombilin Air ini, sudah dibuat versi bajanya oleh PT Freeport Indonesia di Mile 21, Timika, Papua. Konon, engineernya berkunjung ke Sumbar untuk mempelajari bentuk kincirnya.

Monday, June 4, 2007

Kincir Air untuk Sawahku

Kami punya sebidang sawah di pinggir batang sinamar. Sebenarnya bukan sawah kaum saya, itu adalah sawah kaum malayu. Cuma sudah sekian lama tapandam pada kaum kami. Namanya sawah taruko, luasnya sekitar satu setengah hektar. Hanya ada 3 petak sawah, untuk hamparan seluas itu. Di kampung saya disebut Lupak. Yang terluas adalah lupak godang, luasannya sekitar satu hektar. Sisanya adalah lupak muko bosuik dan lupak panjang.

Karena berada di pinggir sungai, tekstur tanahnya sedikit berpasir. Akibatnya, air tak bisa bertahan lama di sawah. Merembes ke dalam tanah. Sehingga demand sawah ini akan air sangatlah tinggi. Air banda tak pernah cukup. Sehingga dibutuhkan irigasi tambahan untuk mengairi sawah. Beruntung sawah ini terletak di pinggir sungai. Parumahan untuk kincirnya juga cukup baik. Air deras, tebing lumayan curam, bisa dimasuki mobil pula walaupun jalan tanah.

Aku sering menemani kakek memperbaiki kincir. Terutama ketika pulang kampung disaat musim libur tiba. Kalau ketika libur tiba, pekerjaan di sekitar kincir sangatlah menyenangkan. Karena banyak bermain airnya. Tapi ketika kami sudah tinggal di kampung, pekerjaan ini terasa berat dan menjemukan. Bermain air tak lagi indah.

Kincir air terdiri dari berbagai bagian. Cuma, tidak semuanya istilah teknisnya saya bisa ingat lagi. Yang saya ingat hanyalah bosuik, amo-amo, lantak, kabuang dan palanta kincia. Yang lain saya lupa. Bosuik adalah pipa bambu yang mengaliri air ke sawah. Amo-amo adalah semacam jari-jari pada kincir. Lantak, kabuang dan palanta saya rasa kita semua sudah tahu. Untuk amo-amo ini aku punya cerita banyak. Setiap kincir biasanya akan mengganti seluruh amo-amo ini setahun sekali. Masanya bagi kincir untuk over haul.

Amo-amo terbuat dari kayu, lurus berdiameter 5-7 cm. Kayu ini bukan kayu biasa, haruslah kayu yang kuat. Dan jenis kayu amo-amo ini sudah tidak ada lagi di tengah kampung. Mencarinya harus di hutan primer. Karena biasanya kayu di hutan primer, lurus, teksturnya kuat. Mungkin karena efek kompetisi memperebutkan hara dan sinar matahari. Tempat yang biasa kami kunjungi mencari amo-amo ini adalah di sebuah bukit di pinggir kampung. Biasanya mamak-mamak, urang sumando, anak pisang berkumpul pada suatu hari untuk mencari amo-amo. Satu hari disisihkan untuk berangkat ke bukit. Membawa peralatan perang. Mengambil amo-amo secukupnya. Diturunkan ke bawah bukit dan ditumpuk dipinggir jalan. Dan nanti akan tiba mobil menjemput.

Setelah itu, amo-amo akan dipotong sama panjang sesuai jari-jari kincir yang akan dibuat. Lalu direndam selama seminggu di sungai. Baru amo-amo siap di pasang. Amo-amo akan dipasang di sebuah dudukan yang istilah teknisnya saya lupa. Dudukan ini terbuat dari sebuah potongan kayu besar, sepelukan orang dewasa. Dibuat bulat, tengahnya dibolongi buat bakal sumbu kincir, Bagian luarnya akan dipahat berlubang petak-petak, tempat amo-amo akan ditancapkan. Kakekku biasanya membuat sendiri dudukan ini. Kalau waktu mepet, beliau akan meminta bantuan Angku Sulan dari kampung sebelah(Nama aslinya Ruslan). Aku dan mamak-mamakku, memanggil Angku Sulan ini Profesor Kincir. Karena beliau memang cukup mumpuni mengurusi kincir.

Seminggu amo-amo direndam, adalah waktu menyiapkan kabuang, palanta kincir, basuik dan sebagainya. Aku hanya bisa mengerjakan pembuatan basuik. Bambu dipotong-potong sepanjang dua meter. Lalu dibolongi, dengan dilantak pakai suli. Trus ujungnya dipapat-papat agar bisa masuk ke potongan bambu lain. Tak lupa, buku-buku di ruas bambu dihilangkan. Sebagai pencegah kebocoran di sambungan, digunakanlah sabut kelapa.

Setelah semua selesai. Kincir siap ditegakkan. Pak Sulan pun tiba dari kampungnya. Lalu mulai memasang amo-amo. Kabuang. Rotan pengikat ujung amo-amo. Memasang anyaman bambu di sela amo-amo agar air bisa memutar kincir. Ketika kincir mulai berputar, kabung mulai dipasang dan air bisa masuk ke bak penampung di atas rasa cape langsung hilang. Tinggal kaji menurun memasang basuik dan memastikan tak ada kebocoran sampai kesawah. Sawah mulai tergenang. Buat lumpur dan benih pun siap disemai.


****
Hari ini kincir itu masih berdiri.
Bersela berputar seiring musim tanam
Menunggu masa tergilas peradaban

Kampungku dan Adatnya

Walaupun secara administratif, kampungku terletak di Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung tapi menurut tetua kampung termasuk Luhak Tanah Datar. Sebenarnya masuk akal saja, karena kampungku berbatas langsung dengan Tanah Datar. Soal kelarasan, aku tidak begitu tahu, apakah kampungku berlaraskan Bodi Chaniago atau Koto Piliang.

Di nagariku ada sembilan suku, yakni Malayu, Kampai Tolang, Kampai Ombak, Kandang Jua, Patopang, Cikarau, Piliang IV Rumah, Piliang III Rumah, dan Chaniago. Aku sendiri bersuku Kampai Tolang dan babako ke Malayu. Sembilan suku ini terbagi 2 membentuk semacam asosiasi bernama sapamalayuan dan sapiliangan. Empat suku pertama masuk ke Sapamalayuan dan sisanya adalah Sapiliangan.

Setiap suku memiliki perangkat ampek jinih, yakni Pangulu, Manti, Malin dan Dubalang. Kampai Tolang sukuku, pangulunya bergelar Datuak Rajo Bagagah. Malinnya bergelar Khatib Dubalang, Mantinya Gaga Marajo dan Dubalangnya adalah Dubalang Sutan, mamak kandungku. Sapamalayuan juga memiliki semacam ampek jinih juga, yang diambil dari suku-suku anggotanya. Misalnya, yang menjadi pengulu adalah Datuak Sampono Marajo pangulunya urang Malayu. Malinnya diambil dari kampai ombak, mantinya adalah manti kampai tolang dan dubalangnya dari Kandang Jua.

Di luar itu, nagari kami juga memiliki 3 orang inyiak. Konon ketiga inyiak ini dulu yang manaruko nagari kami untuk pertama kali. Tiga inyiak ini dipimpin oleh inyiak pucuak bergelar Datuak Cumano (Inyiak Cumano), yang merupakan orang Kampai Tolang. Dua orang yang lain adalah Inyiak Rangkayo Bungsu dan Inyak Majo Lelo. Dua inyiak yang kedua ini merangkap juga sebagai pangulu di sukunya masing-masing.

Cukup kompleks memang.

Kata ayahku, di zaman dulu sering sekali diadakan pertandingan bola antar surau. Dimulai pertandingan antar suku sesama balahan sapamaluan atau sapiliangan. Jarang berkelahi. Setelah dilanjutkan antar balahan. Biasanya diakhiri dengan perkelahian. Tapi karena sudah menjadi tradisi bocah-bocah, perkelahian ini ditanggapi biasa saja.

Setiap suku tentu memiliki bermacam-macam suduik. Di kampungku disebut rumah. Rumah ini dipanggil berdasarkan pemangku adat utama di kaum tersebut. Misalnya rumahku, di sebut rumahnya Dubalang Sutan. Bagi rumah yang tidak memiliki perwakilan di barisan empat jinih, dipanggil berdasarkan pemangku gelar yang lain, biasanya yang paling tua. Misalnya rumah pandito mudo.

Sistem warih bajawek untuk masing-masing gelar adalah berdasarkan rumah suduik mereka. Aku tidak akan mungkin menjadi Pangulu, Manti ataupun Malin. Karena di rumahku hanya ada Dubalang. Jadi level tertinggi yang mungkin aku raih hanyalah gelar Dubalang Sutan.

Kehadiran empat jinih sangat mutlak untuk acara-acara penting, terutama pernikahan. Untuk sukuku, malah menjadi lima. Karena Inyiak Cumano, pemimpin nagari ada di sukuku. Tanpa kehadiran lengkap mereka pada sebuah acara pernikahan, jangan harap para tetamu sekampung akan menyantap nasi. Akan dibilang, “yang patuik tampak ndak nampak”. Biasanya kalau sudah kejadian begini, pihak tuan rumah akan menyodorkan carano ke tengah tamu. Pertanda minta maaf, sekaligus pemberitahuan kalau di keluarga kami sedang ada masalah dengan para pemimpin kaum. Ini sering jadi bahan kuncian (kartu as) bagi para niniak mamak untuk para keponakannya yang bandel.

Lalu bagaimana jika salah satu empat jinih ada yang merantau? Bukan masalah, karena biasanya dia berwakil ke kemenaknnya yang dikampung. Panungkek istilah lainnya.

Pengalaman terakhirku berurusan dengan kaum adat ini adalah ketika kaum kami punya permasalahan tanah dengan suku malayu. Suku Bapakku. Kedua kaum ini mengklaim sebagai pemilik sah pasa taranak di mudiak pasa. Dan kedua suku ini sepakat mencoba melalu jalan perundingan adat. Sungguh sebuah penyelesaian yang sangat unik.

Prosesnya dimulai dari perundingan yang melelahkan. Bergantian tempatnya antara rumah kami dan rumah kaum melayu. Dan tak juga menemui kata sepakat. Lalu karena, kami masih satu balahan sapamalayuan. Masalah ini dibawah ke dewan sapamalayuan. Untuk urusan tanah seperti ini diserahkan kepada Tuo Taratak Gindo Sutan, mantinya kaum kampai ombak. Dan masalah ini juga tidak bisa beliau putuskan. Akhirnya diserahkan kepada Inyiak Cumano.

Walaupun inyiak cumano, satu suku denganku. Beliau berjanji netral menyelesaikan masalah ini. Dan beliau memutuskan, bahwa segala perundingan akan dilaksanakan di lokasi perkara. Disinilah aku pernah hadir beberapa waktu. Dan mulailah beberapa kali kami datang lokasi, ibu-ibu menyiapkan makanan. Sebelum berangkat, kami kaum kampai tolanh rumah dubalang sutan melakukan konsolidasi. Lobi ke inyiak cumano. Rencana akting marah-marah dan seterusnya. Cukup seru.

Dimana ayahku dalam posisi ini. Beliau tidak pernah hadir dalam rapat konsolidasi kita. Di kaumnya pun beliau seperti menarik diri, beliau bilang urusan kantor lagi banyak. Tapi ibuku selalu mengupdate status pada beliau. Apakah beliau bercerita juga pada dunsanaknya, aku tak pernah tahu. Tapi rasanya beliau bisa menyimpan rahasia.

Setelah beberapa kali bersidang, lengkap dengan intrik-intrik dan ketegangannya. Tibalah hari keputusan Inyiak Cumano. Dimulai dengan petatah petitih tak tanggung panjangnya. Ia pun mulau menyurahkan riwayat tanah nagari kami. Bagaimana dulu apra tetua kampung membagi tanah-tanah lengkap dengan riwayat gadai, solang (pinjam-red) dan tralala-trilili lainnya. Akhirnya diputuskan bahwa pemilik sah tanah ini adalah kaum suku malayu. Dan kami pun lemas semuanya. Untungnya, kami bisa menerima kekalahan ini dan tidak berusaha meneruskan kasus ini menjadi kasus perdata di pengadilan.