Wednesday, June 6, 2007

Shalat Jumat dan Tebak-Tebak Buah Manggis

Boleh dihitung dengan jari aku melewatkan Shalat Jumat. Bahkan ketika punya alasan sah buat meninggalkan shalat jumat, tetap aku usahakan menjalani Shalat Jumat. Bagiku Shalat Jumat adalah hal yang mengasikkan. Seperti tebak-tebak buah manggis, terutama bagian sebelum khotib naik. Sangat banyak variasi yang aku temui. Bukan bermaksud sombong, aku sudah menunaikan Shalat Jumat di 20 Propinsi dan beberapa negara di Asia.

Masjid-masjid memberikan variasi yang berbeda di bagian pra khutbah dan khutbahnya. Dan aku menikmati proses ini dengan berdebar-debar. Takut pengurus masjidnya kelamaan berbicara atau khotib yang ngomong kepanjangan, monoton dan kadang mulutnya sampai berbuih putih di ujung bibirnya. Atau aku malah menemukan khotib yang isinya berbobot, singkat dan tepat sasaran. Dengan pidato pengurus masjid yang to the point pula.

Di kampungku, ada 3 buah masjid yang rutin melaksanakan shalat jumat. Yang pertama adalah masjid Muhammadiyah, diisi oleh pedagang, pegawai kecamatan, dan keluarga besar bakoku. Soalnya rumah mereka dekat masjid ini. Yang kedua masjid banda malintang, isinya adalah orang di kawasan pinggir kampung dan para musafir. Lokasinya di pinggir jalan besar. Yang ketiga adalah mesjid koto. Dekat dengan rumahku, isinya adalah warga asli nagari kami. Para tetua adat. Inilah masjid resmi nagari. Lokasinya di dekat kantor wali nagari dan kantor KAN.

Masjid Koto punya tradisi yang unik. Khotibnya hanya rotasi dari 3 orang saja. Malin Bungsu, Malin Paduko dan Malin Marajo. Imamnya juga bergilir 2 orang, Mak Etek Idin dan Da Sidang. Muadzinnya juga itu ke itu saja, yaitu Mr Dius atau Saat. Pengurus Masjid yang suka ngomong yang rada banyak, Sailan, Kakekku Jasam, Pakiah Bagindo, Pak Nazar Guru atau Rangkayo Bungsu. Katanya sudah tradisi nagari kami seperti itu. Kepala KUA adalah orang kampung kami asli. Lulusan IAIN ini tidak pernah jadi khotib Jumat di kampung kami, soalnya ia bukan khotib nagari. Ia hanya rutin berkhotbah di masjid-masjid lain.


Acara jumatan di kampungku sangat bertele-tele. Pidato pengurus masjidnya sangat panjang. Belum lagi sekali-kali ada petuah dari Pak Wali Nagari tentang gotong royong dan ini itu segala macamnya. Khotbah jumatnya apalagi. Khotib hanya membaca buku kumpulan khutbah jumat. Stocknya pun tidak seberapa. Gaya membacanya pun kurang meyakinkan. Seperti bernyanyi. Aku saja yang jarang tinggal di kampung, pernah mendengar khutbah yang sama sebanyak 5 kali. Aku ingat betul kata-kata khotibnya, “banyak yang reput (repot-pen), tapi tetap sembayang”.

Ketika kuliah aku suka sholat jumat di kampus dan masjid dekat kos. Kalau di kampus, standar saja lah. Acara dimulai oleh pidato anak DKM, mahasiswa jenggotan, ngomong pelan, celana yang senteng di atas mata kaki. Khotibnya pake bahasa yang tinggi. Seringnya menghujat amerika dan kapitalis, dan menyerukan kembali ke sistem islam. Kalau masjid dekat rumah, biasa masjid kampung. Khotibnya seperti orang pake kerudung. Membawa tongkat pula. Tapi masih pake bahasa Indonesia, kalau di tempatku KKN dulu mereka bergaya sama tapi pakai bahasa arab. Ritual pra khutbahnya, sedikit mirip di kampungku. Bedanya cuma pakai bahasa sunda saja. Situasi seperti ini banyak kita temui di daerah-daerah pedalaman Jawa dan Kalimantan.

Kalau di masjid dekat kantorku, ritualnya mirip-mirip di masjid kampus. Bedanya, yang datang kebanyakan ketika khutbah udah berlangsung seperempatnya. Dan ketika khotib berkutbah, banyak yang jongkok sambil merokok. Untuk khotib, beberapa kali ada beberapa orang nama terkenal. Pilihan kata dan intonasi mereka biasanya mantap-mantap. Terkadang ada juga habib yang berkhotbah. Suaranya sengau arab. Sangat energik berpidato. Terutama pada bagian menentang amerika dan pengaruh televisi.

Pernah aku Shalat Jumat di Beijing saat musim dingin baru berakhir. Masjidnya jauh di pinggir kota, kesananya naik bus dengan beberapa orang kawan. Airnya begitu dingin ketika wudhu. Jamaatnya adalah orang cina dan turunan arab/persia. Pidato pengurus dan khotbah menggunakan bahasa yang aku tak mengerti. Ketika shalat berlangsung, selepas al-fatihah, aku dan kawan-kawan langsung berteriak amin keras-keras, seperti di tanah air. Ternyata disana, jamaahnya hanya diam saja selepas imam membaca al fatihah. Banyak jemaah lain yang menoleh ke kami. Mereka bingung mungkin dengan perangai dan penampakan kami yang berbeda dengan mereka. Abis jumatan, kami pun langsung kabur. Tidak mau dilihat orang-orang dengan sorot mata aneh.

Di pedalaman Cililitan Jakarta beberapa tahun silam. Di sebuah masjid kampung kecil, aku menemukan pengalaman jumatan yang berkesan. Isi khotbahnya sangat menarik hatiku, intinya sebuah ajakan untuk berbuat baik. Mirip-mirip jargon 3 M, AA Gym. Cuma si khotib menyampaikan dengan bahasa yang sangat menarik. Sedikit puitis dan filosofis. Penasaran, aku menunggu beliau di teras selepas sholat di teras masjid. Biasanya abis salam, aku langsung kabur mencari warung buat makan siang, atau pulang ke rumah kalau shalatnya di masjid dekat rumah. Aku ajak beliau bersalaman, kami pun sempat ngobrol sebentar. Lalu ia menanyakan kerja dan kuliahku, lalu ia bilang dulu banyak alumnus tempat kuliahku di tempat kerjanya dulu. Sambil menyebut sebuah perusahaan besar dan terkenal di negeri ini.

Sayang, khotbah seperti di Cililitan tak pernah lagi kudengar. Isi khotbah sekarang, kebanyakan hanya berisi hujatan, cacian dan sikap menyalahkan. Kadang-kadang kepanjangan pula retorika-retorikanya. Jamaah pun lebih memilih lalok-lalok ayam daripada serius mendengarkan. Menebak buah manggis ritual shalat jumat, menjadi tak seru lagi. Sebelum wudhu, aku sudah bisa memperkirakan materi yang disampaikan khotib. Untuk ke depan, memperkirakan jumlah hasil celengan jemaah mungkin lebih menantang. Aku pun bisa terpacu datang duluan ke masjid, biar laporan keuangan pengurus tidak terlewat. Kan yang datang duluan dapat kambing. Hehehehe....

No comments: