Monday, May 28, 2007

Sawahlunto

Aku merasa Sawahlunto adalah homelandku yang sebenarnya. Walaupu kedua orang tuaku berasal (dan saat ini juga kembali tinggal disana) dari Kumanis, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung. Memang dari Sawahlunto, kampungku cukup dekat. Lewat Talawi atau Padang Sibusuk, tidak jauh beda lamanya di jalan. Ditarik garis lurus, dari kampungku ke Sawahlunto pasti lebih dekat lagi. Satu hal yang bisa memaafkanku menjadi orang kumanih berhomeland Sawahlunto, adalah sebenarnya mereka satu saja. Apalagi kalau ada yang berperkara baik lewat pengadilan negeri ataupun agama, kalau berbuat di Kumanih sidangnya tetap di Sawahlunto. Bukan di Muaro Sijunjung.

Pertama kali menginjakkan Sawahlunto adalah ketika aku kelas 3 SD. Ketika kami abis mudik ke kampung dan hendak kembali ke Paninggahan. Kami menyempatkan mampir ke Sawahlunto dulu. Orang tuaku ada urusan. Yang paling kuingat hanyalah mabok darat akibat perjalanan dari Muaro Kalaban ke Pasar Sawahlunto. Kala itu jalannya masih sempit belum selebar sekarang, tikungannya pun benar-benar mengocok perutku. Ditambah jenis mobilnya yang memang sangat membantu mempercepat proses pemabukkan seseorang: Datsun Minibus. Mobil kecil berkepala lonjong, antara sopir dan penumpang tak dapat bicara, terhalang kaca. Dan pula, posisi sopir berada sedikit di bawah penumpang. Jadinya sesampainya di pasar Sawahlunto, saya benar-benar mabuk dengan muka pucat pasi tidak karuan.

Mengenai keberadaan Sawahlunto sebagi kota tambang, rasanya sudah cukup banyak yang tahu. Sejarah kota Sawahlunto sedikit banyak mempengaruhi sejarah Sumatera Barat, terutama di bidang infrastruktur perkeretaapian dan pelabuhan teluk bayur, yang dulu bernama Emma Haven.

Sedikit ringkasan sejarah tambang Sawahlunto adalah dimulai dari hasil temuan beberapa geologist Belanda tentang deposit batubara di aliran Sungai Ombilin. Sampai pada penandatanganan Notaricle Acte di tahun 1888, oleh E.L. Va Ronversy Asisten Residen Tanah Datar selaku Notaris, antara Handrik Yakobus Pelta Schemuring (Pemegang Con Esi) dengan Laras Silungkang Jaar St. Pamuncak (mewakili rakyat) untuk melakukan penambangan batu bara. Diantara hasil realisasi akta ini adalah pembangunan rel kereta api dan pelabuah teluk bayur. Akte ini juga pernah digugat oleh kalangan buruh lokal di tahun 20an, dimana di Silungkang pernah terjadi pemberontakan.

Dilihat dari namanya, Sawahlunto berasal dari dua kata Sawah dan Lunto. Sawah berarti sawah tempat orang bercocok tanam. Lunto adalah sebuah nagari berbatas dengan Silungkang dan Lumindai, masih disekitar kota Sawahlunto juga. Nama nagari ini juga dipakai sebagai nama sungai kecil yang melintasi kota Sawahlunto. Sawahlunto mungkin berarti sawahnya orang Lunto atau bisa juga berarti sawah di pinggiran bantang Lunto.

Sawahlunto adalah contoh sebuah kota yang penuh pasang surut kehidupan. Pernah menjadi sebuah kota yang jaya dan pernah pula mengalami keterpurukan. Kota ini pernah cukup maju sebelum penjajahan Jepang, ketika batubara mencapai puncak produksinya di tahun 1938. Kota ini pernah pula menjadi kota yang berpengaruh di Sumatera Tengah di bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian. Ekspatriatnya juga cukup banyak. Belanda pernah beseliweran hilir mudik di kota ini.

Dokter Saleh Mangudiningrat, seorang Jawa priyayi, generasi pertama dokter pribumi lulusan belanda pernah bertugas di kota ini. Di kota ini pula lahir dua orang anak beliau, Siti Wahyunah Syahrir dan Soedjatmoko. Kelak kedua orang Jawa ini cukup berpengaruh dalam peta politik Indonesia di zaman pergerakan. Sebuah penugasan dokter senior lulusan belanda menunjukkan bahwa kota ini dulunya cukup diperhitungkan.

Sawahlunto juga pernah redup sementara ketika masa PRRI dan G 30 S, dimana aktivitas politik mengganggu aktivitas penambangan. Padahal penambangan adalah sektor ekonomi utama kota ini. Konon katanya, di masa ini pula lah kristenisasi cukup gencar di kota ini. Yang sampai sekarang menyisakan populasi kaum katolik dan protestan yang cukup tinggi, di atas kota-kota lain di Sumatera Barat. Saya tidak akan banyak membahas tentang kristenisasi ini, karena pandangan pribadi saya menyatakan agama adalah hak individu. Urusan kita dengan sang pencipta. Kalaupun ada kristenisasi, kita tidak bisa juga semerta-merta menyalahkan para pekabar injil. Toh, ketika masa sulit itu memang hanya mereka yang konsisten membantu orang-orang kesulitan. Yang jelas, saya cukup menikmati pemandangan gereja dan sekolah Santa Lucia di pusat kota Sawahlunto. Membawa saya pada fantasi sesudut kota kecil eropa, yang biasa saya saksikan di film-film.

Saat ini produksi batubara Sawahlunto berada di titik terbawah sepanjang sejarah tambang kota ini. Gemuruh kereta api pengangkut batubara tak bisa lagi kita dengarkan di alam sumatera barat. Dentingan logam aktivitas para pekerja di bengkel utama tak lagi terdengar. Perjalanan batubara dari lubang tambang menuju silo besar penampungan melalui ban berjalan (conveyor belt) juga sudah tidak ada. Yang masih terlihat hanyalah aktivitas para penambang rakyat dan sedikit kontraktor kecil resmi.

Saya yakin cadangan batubara masih banyak di perut bumi Sawahlunto. Cuma dengan berlimpah ruahnya batubara di Kalimantan, batubara Sawahlunto tak lagi seksi di mata investor. Biaya produksi dan investasinya terlalu besar. Sementara di kalimantan, menggali lubang buat menanam karet saja, kadang batubara ditemukan. Memang, di kalimantan kalori batubaranya lebih rendah. Tapi, itu bukanlah menjadi sebuah masalah besar saat ini. Ketel-ketel uap saat ini sudah dimodifikasi untuk batubara berkalori rendah.

Saat ini kota Sawahlunto sedang berusaha menemukan alternatif penggerak utama perekonomian warganya. Walikotanya sudah berusaha membuat terobosan di bidang pariwisata dan perkebunan coklat rakyat. Saya tidak begitu mengetahui sejauh mana keberhasilan semua ini. Semoga saja berhasil, dan Sawahlunto bisa bangkit lagi. Karena kota ini memang sudah terbiasa mengalami pasang surut sepanjang sejarahnya. Intinya, harapan masih tetap ada.

Paninggahan

Selepas dari Singkarak, di tahun 1984 ayah sempat dipindah ke Tanjung Balit lagi. Tapi hanya sebentar, sekitar 6-8 bulan saja. Disana kami mengontrak rumah yang agak ke tepi kampung. Arah jalan ke Paninjauan. Tak banyak kenangan di masa ini, selain main gundu, jalan di tengah kebun kopi ke sekolah.

Awal tahun 1985, ayah diangkat jadi kepala perwakilan kecamatan X Koto Singkarak di Paninggahan, yang meliputi wilayah Paninggahan dan Muara Pingai. Sekarang daerah ini sudah menjadi kecamatan penuh, namanya Kecamatan Junjuang Sirih.

Kami mengontrak rumah di dekat Pasar, disana disebut Balai. Masa-masa berdiam di adalah masa yang paling kami ingat. Banyak sekali pengalaman unik di daerah sini. Adik bungsuku lahir disini, di tahun 1986. Mungkin ratusan cerita bisa terlahir disini, karena begitu banyaknya pengalaman yang kami rasakan sekeluarga.

Tugas ayah waktu itu sangat berat, terkait dalam proses pemenangan Golkar. Maklum di tahun 1982, disini Golkar kalah. Yang menang adalah PPP. Dari cerita ayah, hubungan beliau dengan elit-elit nagari sangatlah dinamis. Begitu menarik katanya, dan berbeda dengan nagari-nagari lain tempat beliau ditugaskan sebelumnya.

Berangkat dari kondisi pemilu 1982, wilayah ini begitu menjadi sorotan pejabat. Silih berganti mereka datang ke wilayah ini. Mulai dari Gubernur Azwar Anas, sampai ke Hasan Basri Durin. Dan tentu saja, ayah dan ibu yang dibikin sibuk. Rumah kami tak ubahnya seperti ruang sekretariat. Beruntung, di tahun 1987 Golkar menang di wilayah ini, suaranya lumayan pula 69% dari sebelumnya hanya 45%.

Di masa ini, kami punya seekor yang anjing yang sangat patuh. Namanya Pilo. Ritual paginya adalah berlari di belakang Honda Win ayah menuju kantor. Lalu ia tidur-tiduran di teras kantor ayah sampai jam 10 pagi. Setelah itu, ia pulang ke rumah menunggu rumah. Ketika ayah dan Ibu pulang, ia akan berlari menjemput ke ujung gang. Lalu mulai menggonggong meminta makan. Dan Ibu pun memberikan makan. Jam 2 adalah waktu Pilo untuk adikku yang nomor 3. Adikku suka menjadikan Pilo kuda tunggangan, atau sesekali adikku memasangkan bajak kecil ke pundak pilo. Selesai bermain dengan adikku, pilo melanjutkan kegiatan sosialisasinya dengan sesama komunitas anjing lainnya.

Soal galak, Pilo jangan diragukan. Begitu hebat sebagai seekor anjing penjaga rumah. Ia hanya akan baik pada kami sekeluarga ditambah beberapa orang yang sering ke rumah. Pernah suatu ketika ajudan Bupati datang ke rumah, menyampaikan pesan Bupati. Pilo langsung menyalak dan memanjat si ajudan. Untung ayah melihat, kalau tidak, mungkin si ajudan sudah digigit atau minimal sudah mengambil langkah seribu.

Pernah sekali di akhir 1989, ketika itu ayah sudah menjadi camat Singkarak tapi kami masih tinggal di Paninggahan. Sore itu kami sekeluarga-dengan mobil dinas pak camat kijang merah- hendak ke Koto Baru (Kantor Bupati Solok-pen) menemani ayah. Pilo lagi berkeliaran di dengan komunitasnya, dan kami pun tidak sempat mengikat. Menjelang Sumani, adikku menengok ke belakang dan ia berteriak memberi tahu di belakang ada Pilo. Segera ayah memberhentikan mobil, dan memang pilo lagi terengah-engah di belakang. Langsung Pilo dibawa ke rumah seorang Kepala SD kenalan kami, diikat disana untuk dilepas lagi nanti sampai kami nanti pulang dari Koto Baru.

Ketika kami pindah dari Paninggahan tahun 1990, pilo berikan ke keluarga Tek Jaminar. Ketika kami berkunjung kesana 6 bulan berikutnya, Pilo masih mengenal kami. Masih berusaha bermanja-manja ke Ayah dan adikku si penunggangnya. Tahun 1993 ketika kami berlebaran ke Paninggahan, Pilo dikabarkan sudah mati setahun sebelumnya. Kulihat adikku (11 tahun waktu itu) tertunduk lama. Mungkin ia menangis kehilangan Pilo untuk selamanya....

Singkarak

Singkarak sungguh beruntung, nama nagari ini diabadikan sebagai nama danau terbesar di Sumatera Barat. Menurut saya kajian mengapa danau ini bernama Singkarak merupakan suatu hal yang menarik. Kenapa danau ini tidak bernama danau Malalo, Sumpur, Kacang, Paninggahan atau seterusnya. Karena kalau dilihat berdasarkan sumber air danau, Sumani mungkin lebih tepat dijadikan sebagai nama danau ini. Karena Batang Gumanti/Batang Sumani bermuara di danau ini, sehingga menjadi sungai secara relatif di nagari ini batas “bendungan” alami danau singkarak. Atau, berdasar ke tempat outletnya air danau ini, Danau Ombilin juga lebih tepat. Mirip penamaan waduk Jatiluhur, atau Cirata di Jawa Barat.

Kalau berdasar ukuran panjang “pantai”, Danau Kacang lebih tepat juga disebut. Karena nagari yang memiliki pantai danau terpanjang adalah Kacang. Mulai dari biteh (batas dari ombilin) sampai ke batas Tikalak relatif lebih panjang dari pantai lain. Singkarak mungkin termasuk nagari yang memiliki pantai danau yang pendek dibanding nagari-nagari lain. Tapi anyway, Singkarak memang sangat beruntung nama nagarinya diabadikan sebagai nama danau ini.

Saya memang punya kenangan yang kuat dengan Danau Singkarak dan Nagari Singkarak. Tahun 1979, kami pindah dari Tanjung Balik (Kecamatan X Koto di Atas) ke Singkarak. Ayah menjadi Pak KK di kantor camat Singkarak. Kami mengontrak rumah sebuah rumah panggung di jorong pasia. Disinilah memori masa kecilku mulai tumbuh. Banyak kenangan di rumah panggung ini. Mulai dari pesta ulang tahun, kelahiran adik kedua. Kelahiran adik pertama, aku tidak ingat sama sekali. Maklum jaraknya denganku hanya satu setengah tahun.

Yang paling aku ingat disini adalah suara motor ayah, suzuki warna kuning berlogo pemilu 1982. Kalau sudah mendengar suara motor ini, aku biasanya buru-buru keluar berlari. Apalagi kalau ayah membawa nasi bungkus sisa rapat di kantor. Biasanya langsung kita tambahkan dengan nasi di rumah, lalu kita makan beramai. Hua hua.. kepedesan.

Dari cerita ayah, terlihat masa ini adalah masa yang cukup berkesan sepanjang penugasan beliau. Beliau menjadi KK melayani 4 atau 5 camat yang datang silih berganti. Juga banyaknya kegiatan-kegiatan besar yang beliau tangani dimasa itu. Mulai dari pekan penghijauan nasional di Aripan, dimana Soeharto datang. Pembangunan SMA, kantor camat baru, hingga pembangunan sebuah Balai Penelitian Departemen Pertanian. Beberapa proyek pembangunan ini tentu membutuhkan lahan. Ayahku selalu terlibat penuh dalam upaya pembebasan lahan untuk beberapa pembangunan ini. Dan tentu saja, semuanya tidak selalu mulus.

Lebaran tiba adalah masa yang paling indah bagiku dan adik-adik. Setiap tahun di Singkarak diadakan semacam pesta rakyat. Bermacam-macam permainan diadakan. PJKA juga membuka kembali untuk seminggu angkutan penumpang dengan rute Stasiun Solok-Stasiun Singkarak-ke Batu Taba. Jualan mainan anak berlimpah ruah. Benda yang paling kuingat adalah kamera plastik imitasi yang berisi air, kalau dipencet airnya keluar menembak mata orang di depan. Bau khas plastik mainan ini, sampai sekarang masih berada di memori indra penciumanku.

Karena Singkarak selalu ramai setiap lebaran, kami tidak pernah merayakan lebaran di tempat nenek. Ayah harus selalu stand by di lokasi. Berjaga-jaga agar pesta rakyat ini tetap dalam jalurnya. Tidak ada perahu yang tenggelam, buaian kaliang patah, permainan judi dadu kuncang. perkelahian antar kampung dan seterusnya. Tapi itu tidaklah menjadi masalah, justru lebaran kedua dunsanak-baik jauh ataupun dekat-dari kampung berdatangan rumah kami. Selain berkunjung ke keluarganya, mereka juga sekalian berwisata ke Singkarak. Raun-raun ke Singkarak memang sudah jadi tradisi orang kampung kami. Dan kali ini mereka punya tempat singgah yang pas. Tak jarang mereka menginap lebih dari dua malam. Aku dan adik-adik senang saja. Mereka suka memberi salam tempel. Dan uangnya bisa kubelikan bermacam-macam mainan.

Sayang pesta rakyat semacam di danau Singakarak ini masih menjadi mindset utama para birokrat pengurus pariwisata. Sedari saya kecil tidak pernah berubah, semua masih dilihat dari jumal entry tiket masuk ke objek wisata. Menggarap wisata masih berkonsep keramaian buaian kaliang dan pasar malam. Mengembangkan pariwisata jauh lebih kompleks daripada sekadar itu semua.

Sunday, May 27, 2007

Tanjung Balit, Tanah Kelahiran

Mengenang jejak masa lalu selalu punya keasyikan tersendiri. Mungkin karena sembari mengingat-ingat, perasaan kita juga diaduk-aduk. Kali ini saya mencoba meretas ingatan masa lalu ke dalam sebuah tulisan. Mudah-mudahan bermanfaat.

Tanjung Balit, Kecamatan X Koto di Atas. Di nagari ini, aku dilahirkan di Tahun 1978. Untuk selanjutnya, nama nagari tercantum di akte kelahiran, Ijazah SMP, SMU dan Universitas. Untuk KTP, aku menggunakan Solok saja. Kata Pak Lurah dulu, cukup nama daerah tingkat dua saja yang dicantumkan. Untuk ke tanjung Balit ada dua jalan utama ketika itu, lewat Paninjauan atau Sulik Aia. Kedua simpang jalan ini berada di Singkarak. Jarak tempuhnya juga tidak beda jauh.

Nyaris tak ada memori tentang masa sangat kecil ini di Tanjung Balit. Kalaupun ada, hanyalah dari cerita orang tua dan keluarga lainnya. Aku lahir ketika ayah bertugas di Kantor Camat X Koto di Atas. Ini merupakan daerah penugasan pertama ayah selepas beliau menamatkan APDN Bukittinggi. Di masa ini pula, ayah dan ibuku menikah dan aku dilahirkan. Waktu itu, kantor camatnya baru pindah dari Sulit Air ke Tanjung Balit. Kalau nagari-nagari di kecamatan ini diranking, mungkin Tanjung Balit berada di posisi ke tiga setelah Sulit Air dan Paninjauan. Tapi tidak tahu juga, kenapa Ibu Kecamatannya ada di Tanjung Balit.

Dari cerita orang-orang, aku mengambil kesimpulan bahwa masa itu adalah masa yang cukup menyenangkan. Ayah dan Ibu mengontrak rumah keluarga cukup terpandang di Tanjung Balik. Yang paling aku ingat adalah nama Ibu Nia dan Ibu De. Ibu Nia adalah seorang Guru SD di Tanjung Balit ini. Salah satu keluarga mereka adalah pemilik mobil Tanjung Harapan. Bis kecil yang melayani rute Tanjung Balit dan Kota Solok.

Keluarga besar ini cukup dekat dengan kami. Generasi kedua keluarga ini memanggil Ayah dan Ibuku dengan Uni dan Uda saja. Sedangkan generasi pertama memanggil cukup memanggil nama. Secara aku dilahirkan disana, mereka sangat menyayangi aku. Katanya aku lah tangisan bayi pertama setelah sekian lama tidak ada tangisan bayi di komplek keluarga ini. Sampai sekarang pun, mereka masih menganggap aku keponakan kecil mereka. Walaupun sebentar lagi, aku sudah bisa memberikan mereka cucu.

Dari kakek, aku juga mendapat cerita perjalanan kaki beliau dari Sulit Air ke Tanjung Balit. Atau cerita lain berjalan kaki ke Sawahlunto via Sibarambang, Kajai atau Talago Gunuang. Kakek memang sangat hobi berjalan kaki. Mungkin itu yang menyebabkan fisik beliau tetap kuat di usia yang sudah menginjak kepala delapan.

Kalau dari keluarga tempat ayah mengontrak rumah, cerita yang paling sering kudengar adalah cerita tentang tangisku yang keras ketika dimandikan. Baik ketika masih mandi di baskom di depan rumah, sampai ketika sudah mulai mandi di Batang Katialo.

Dari ayah dan ibu, lain lagi cerita uniknya. Masa bulan madu mereka, adalah masa yang cukup panas. Masa dimana Pemilu dan Sidang Umum MPR didramatisir oleh pemerintah orde baru lewat Kopkamtibdanya. Sebagai camat muda-istilah untuk lulusan APDN yang baru ditugaskan-, ayahku diberikan sepucuk pistol. Dasar wong sipil ndeso, punya pistol bukannya tambah berani, malah jadi takut. Pikiran jadi kemana-mana. Mulai dari takut ada yang nyolong, sampai takut dibunuh. Akhirnya mereka di malam pertama pistol menginap, tidak bisa tidur. Dan mulai malam berikutnya, si pistol diinapkan di tempat yang tak layak. Kalau tidak salah dibalik periuk yang lagi digantung di dinding.

Fase kedua di Tanjung Balit, adalah di tahun 1984. Selepas dari Singkarak, ayah sempat dipindah ke Tanjung Balit lagi. Tapi hanya sebentar, sekitar 6-8 bulan saja. Disana kami mengontrak rumah yang agak ke tepi kampung. Arah ke Sibarambang. Walaupun fase ini sebentar saja, kenangannya cukup berbekas. Main gundu, dan main suruak-suruakan (petak umpet kalau di jawanya) di sebuah surau adalah rutinitas soreku. Paginya, memintas jalan di tengah kebun kopi kalau hendak ke sekolah juga sebuah kenangan indah. Walaupun kata orang-orang kampung sana, aku pernah tasapo di kebun kopi itu sehingga pernah menderita demam panas tinggi.

Bermain ke rumah Bu Nia dan Bu De juga menjadi rutinitas kami. Ibu berdua ini sudah menganggap aku cucunya. Jadi kalau ketemu di pasar bersama kawan-kawan, beliau suka marah melihat aku yang dekil. Hal lain yang cukup membekas adalah ketika ke Sulit Aia, aku langsung terkagum-kagum melihat kemegahan masjid, puskesmas dan pasarnya. Disitu juga aku mulai tahu, bahwa perantau sulit air sukses-sukses. Melebihi nagari-nagari lain di kecamatan ini.

Suatu saat aku akan kembali ke Tanjung Balit, membawa keturunanku. Menapaktilasi sebuah tempat yang tercantum di akte kelahiranku. Melewati jalan menanjak berliku sambil memandang birunya danau singkarak dari jauh.