Aku merasa Sawahlunto adalah homelandku yang sebenarnya. Walaupu kedua orang tuaku berasal (dan saat ini juga kembali tinggal disana) dari Kumanis, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung. Memang dari Sawahlunto, kampungku cukup dekat. Lewat Talawi atau Padang Sibusuk, tidak jauh beda lamanya di jalan. Ditarik garis lurus, dari kampungku ke Sawahlunto pasti lebih dekat lagi. Satu hal yang bisa memaafkanku menjadi orang kumanih berhomeland Sawahlunto, adalah sebenarnya mereka satu saja. Apalagi kalau ada yang berperkara baik lewat pengadilan negeri ataupun agama, kalau berbuat di Kumanih sidangnya tetap di Sawahlunto. Bukan di Muaro Sijunjung.
Pertama kali menginjakkan Sawahlunto adalah ketika aku kelas 3 SD. Ketika kami abis mudik ke kampung dan hendak kembali ke Paninggahan. Kami menyempatkan mampir ke Sawahlunto dulu. Orang tuaku ada urusan. Yang paling kuingat hanyalah mabok darat akibat perjalanan dari Muaro Kalaban ke Pasar Sawahlunto. Kala itu jalannya masih sempit belum selebar sekarang, tikungannya pun benar-benar mengocok perutku. Ditambah jenis mobilnya yang memang sangat membantu mempercepat proses pemabukkan seseorang: Datsun Minibus. Mobil kecil berkepala lonjong, antara sopir dan penumpang tak dapat bicara, terhalang kaca. Dan pula, posisi sopir berada sedikit di bawah penumpang. Jadinya sesampainya di pasar Sawahlunto, saya benar-benar mabuk dengan muka pucat pasi tidak karuan.
Mengenai keberadaan Sawahlunto sebagi kota tambang, rasanya sudah cukup banyak yang tahu. Sejarah kota Sawahlunto sedikit banyak mempengaruhi sejarah Sumatera Barat, terutama di bidang infrastruktur perkeretaapian dan pelabuhan teluk bayur, yang dulu bernama Emma Haven.
Sedikit ringkasan sejarah tambang Sawahlunto adalah dimulai dari hasil temuan beberapa geologist Belanda tentang deposit batubara di aliran Sungai Ombilin. Sampai pada penandatanganan Notaricle Acte di tahun 1888, oleh E.L. Va Ronversy Asisten Residen Tanah Datar selaku Notaris, antara Handrik Yakobus Pelta Schemuring (Pemegang Con Esi) dengan Laras Silungkang Jaar St. Pamuncak (mewakili rakyat) untuk melakukan penambangan batu bara. Diantara hasil realisasi akta ini adalah pembangunan rel kereta api dan pelabuah teluk bayur. Akte ini juga pernah digugat oleh kalangan buruh lokal di tahun 20an, dimana di Silungkang pernah terjadi pemberontakan.
Dilihat dari namanya, Sawahlunto berasal dari dua kata Sawah dan Lunto. Sawah berarti sawah tempat orang bercocok tanam. Lunto adalah sebuah nagari berbatas dengan Silungkang dan Lumindai, masih disekitar kota Sawahlunto juga. Nama nagari ini juga dipakai sebagai nama sungai kecil yang melintasi kota Sawahlunto. Sawahlunto mungkin berarti sawahnya orang Lunto atau bisa juga berarti sawah di pinggiran bantang Lunto.
Sawahlunto adalah contoh sebuah kota yang penuh pasang surut kehidupan. Pernah menjadi sebuah kota yang jaya dan pernah pula mengalami keterpurukan. Kota ini pernah cukup maju sebelum penjajahan Jepang, ketika batubara mencapai puncak produksinya di tahun 1938. Kota ini pernah pula menjadi kota yang berpengaruh di Sumatera Tengah di bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian. Ekspatriatnya juga cukup banyak. Belanda pernah beseliweran hilir mudik di kota ini.
Dokter Saleh Mangudiningrat, seorang Jawa priyayi, generasi pertama dokter pribumi lulusan belanda pernah bertugas di kota ini. Di kota ini pula lahir dua orang anak beliau, Siti Wahyunah Syahrir dan Soedjatmoko. Kelak kedua orang Jawa ini cukup berpengaruh dalam peta politik Indonesia di zaman pergerakan. Sebuah penugasan dokter senior lulusan belanda menunjukkan bahwa kota ini dulunya cukup diperhitungkan.
Sawahlunto juga pernah redup sementara ketika masa PRRI dan G 30 S, dimana aktivitas politik mengganggu aktivitas penambangan. Padahal penambangan adalah sektor ekonomi utama kota ini. Konon katanya, di masa ini pula lah kristenisasi cukup gencar di kota ini. Yang sampai sekarang menyisakan populasi kaum katolik dan protestan yang cukup tinggi, di atas kota-kota lain di Sumatera Barat. Saya tidak akan banyak membahas tentang kristenisasi ini, karena pandangan pribadi saya menyatakan agama adalah hak individu. Urusan kita dengan sang pencipta. Kalaupun ada kristenisasi, kita tidak bisa juga semerta-merta menyalahkan para pekabar injil. Toh, ketika masa sulit itu memang hanya mereka yang konsisten membantu orang-orang kesulitan. Yang jelas, saya cukup menikmati pemandangan gereja dan sekolah Santa Lucia di pusat kota Sawahlunto. Membawa saya pada fantasi sesudut kota kecil eropa, yang biasa saya saksikan di film-film.
Saat ini produksi batubara Sawahlunto berada di titik terbawah sepanjang sejarah tambang kota ini. Gemuruh kereta api pengangkut batubara tak bisa lagi kita dengarkan di alam sumatera barat. Dentingan logam aktivitas para pekerja di bengkel utama tak lagi terdengar. Perjalanan batubara dari lubang tambang menuju silo besar penampungan melalui ban berjalan (conveyor belt) juga sudah tidak ada. Yang masih terlihat hanyalah aktivitas para penambang rakyat dan sedikit kontraktor kecil resmi.
Saya yakin cadangan batubara masih banyak di perut bumi Sawahlunto. Cuma dengan berlimpah ruahnya batubara di Kalimantan, batubara Sawahlunto tak lagi seksi di mata investor. Biaya produksi dan investasinya terlalu besar. Sementara di kalimantan, menggali lubang buat menanam karet saja, kadang batubara ditemukan. Memang, di kalimantan kalori batubaranya lebih rendah. Tapi, itu bukanlah menjadi sebuah masalah besar saat ini. Ketel-ketel uap saat ini sudah dimodifikasi untuk batubara berkalori rendah.
Saat ini kota Sawahlunto sedang berusaha menemukan alternatif penggerak utama perekonomian warganya. Walikotanya sudah berusaha membuat terobosan di bidang pariwisata dan perkebunan coklat rakyat. Saya tidak begitu mengetahui sejauh mana keberhasilan semua ini. Semoga saja berhasil, dan Sawahlunto bisa bangkit lagi. Karena kota ini memang sudah terbiasa mengalami pasang surut sepanjang sejarahnya. Intinya, harapan masih tetap ada.
Pertama kali menginjakkan Sawahlunto adalah ketika aku kelas 3 SD. Ketika kami abis mudik ke kampung dan hendak kembali ke Paninggahan. Kami menyempatkan mampir ke Sawahlunto dulu. Orang tuaku ada urusan. Yang paling kuingat hanyalah mabok darat akibat perjalanan dari Muaro Kalaban ke Pasar Sawahlunto. Kala itu jalannya masih sempit belum selebar sekarang, tikungannya pun benar-benar mengocok perutku. Ditambah jenis mobilnya yang memang sangat membantu mempercepat proses pemabukkan seseorang: Datsun Minibus. Mobil kecil berkepala lonjong, antara sopir dan penumpang tak dapat bicara, terhalang kaca. Dan pula, posisi sopir berada sedikit di bawah penumpang. Jadinya sesampainya di pasar Sawahlunto, saya benar-benar mabuk dengan muka pucat pasi tidak karuan.
Mengenai keberadaan Sawahlunto sebagi kota tambang, rasanya sudah cukup banyak yang tahu. Sejarah kota Sawahlunto sedikit banyak mempengaruhi sejarah Sumatera Barat, terutama di bidang infrastruktur perkeretaapian dan pelabuhan teluk bayur, yang dulu bernama Emma Haven.
Sedikit ringkasan sejarah tambang Sawahlunto adalah dimulai dari hasil temuan beberapa geologist Belanda tentang deposit batubara di aliran Sungai Ombilin. Sampai pada penandatanganan Notaricle Acte di tahun 1888, oleh E.L. Va Ronversy Asisten Residen Tanah Datar selaku Notaris, antara Handrik Yakobus Pelta Schemuring (Pemegang Con Esi) dengan Laras Silungkang Jaar St. Pamuncak (mewakili rakyat) untuk melakukan penambangan batu bara. Diantara hasil realisasi akta ini adalah pembangunan rel kereta api dan pelabuah teluk bayur. Akte ini juga pernah digugat oleh kalangan buruh lokal di tahun 20an, dimana di Silungkang pernah terjadi pemberontakan.
Dilihat dari namanya, Sawahlunto berasal dari dua kata Sawah dan Lunto. Sawah berarti sawah tempat orang bercocok tanam. Lunto adalah sebuah nagari berbatas dengan Silungkang dan Lumindai, masih disekitar kota Sawahlunto juga. Nama nagari ini juga dipakai sebagai nama sungai kecil yang melintasi kota Sawahlunto. Sawahlunto mungkin berarti sawahnya orang Lunto atau bisa juga berarti sawah di pinggiran bantang Lunto.
Sawahlunto adalah contoh sebuah kota yang penuh pasang surut kehidupan. Pernah menjadi sebuah kota yang jaya dan pernah pula mengalami keterpurukan. Kota ini pernah cukup maju sebelum penjajahan Jepang, ketika batubara mencapai puncak produksinya di tahun 1938. Kota ini pernah pula menjadi kota yang berpengaruh di Sumatera Tengah di bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian. Ekspatriatnya juga cukup banyak. Belanda pernah beseliweran hilir mudik di kota ini.
Dokter Saleh Mangudiningrat, seorang Jawa priyayi, generasi pertama dokter pribumi lulusan belanda pernah bertugas di kota ini. Di kota ini pula lahir dua orang anak beliau, Siti Wahyunah Syahrir dan Soedjatmoko. Kelak kedua orang Jawa ini cukup berpengaruh dalam peta politik Indonesia di zaman pergerakan. Sebuah penugasan dokter senior lulusan belanda menunjukkan bahwa kota ini dulunya cukup diperhitungkan.
Sawahlunto juga pernah redup sementara ketika masa PRRI dan G 30 S, dimana aktivitas politik mengganggu aktivitas penambangan. Padahal penambangan adalah sektor ekonomi utama kota ini. Konon katanya, di masa ini pula lah kristenisasi cukup gencar di kota ini. Yang sampai sekarang menyisakan populasi kaum katolik dan protestan yang cukup tinggi, di atas kota-kota lain di Sumatera Barat. Saya tidak akan banyak membahas tentang kristenisasi ini, karena pandangan pribadi saya menyatakan agama adalah hak individu. Urusan kita dengan sang pencipta. Kalaupun ada kristenisasi, kita tidak bisa juga semerta-merta menyalahkan para pekabar injil. Toh, ketika masa sulit itu memang hanya mereka yang konsisten membantu orang-orang kesulitan. Yang jelas, saya cukup menikmati pemandangan gereja dan sekolah Santa Lucia di pusat kota Sawahlunto. Membawa saya pada fantasi sesudut kota kecil eropa, yang biasa saya saksikan di film-film.
Saat ini produksi batubara Sawahlunto berada di titik terbawah sepanjang sejarah tambang kota ini. Gemuruh kereta api pengangkut batubara tak bisa lagi kita dengarkan di alam sumatera barat. Dentingan logam aktivitas para pekerja di bengkel utama tak lagi terdengar. Perjalanan batubara dari lubang tambang menuju silo besar penampungan melalui ban berjalan (conveyor belt) juga sudah tidak ada. Yang masih terlihat hanyalah aktivitas para penambang rakyat dan sedikit kontraktor kecil resmi.
Saya yakin cadangan batubara masih banyak di perut bumi Sawahlunto. Cuma dengan berlimpah ruahnya batubara di Kalimantan, batubara Sawahlunto tak lagi seksi di mata investor. Biaya produksi dan investasinya terlalu besar. Sementara di kalimantan, menggali lubang buat menanam karet saja, kadang batubara ditemukan. Memang, di kalimantan kalori batubaranya lebih rendah. Tapi, itu bukanlah menjadi sebuah masalah besar saat ini. Ketel-ketel uap saat ini sudah dimodifikasi untuk batubara berkalori rendah.
Saat ini kota Sawahlunto sedang berusaha menemukan alternatif penggerak utama perekonomian warganya. Walikotanya sudah berusaha membuat terobosan di bidang pariwisata dan perkebunan coklat rakyat. Saya tidak begitu mengetahui sejauh mana keberhasilan semua ini. Semoga saja berhasil, dan Sawahlunto bisa bangkit lagi. Karena kota ini memang sudah terbiasa mengalami pasang surut sepanjang sejarahnya. Intinya, harapan masih tetap ada.