Monday, June 4, 2007

Kampungku dan Adatnya

Walaupun secara administratif, kampungku terletak di Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung tapi menurut tetua kampung termasuk Luhak Tanah Datar. Sebenarnya masuk akal saja, karena kampungku berbatas langsung dengan Tanah Datar. Soal kelarasan, aku tidak begitu tahu, apakah kampungku berlaraskan Bodi Chaniago atau Koto Piliang.

Di nagariku ada sembilan suku, yakni Malayu, Kampai Tolang, Kampai Ombak, Kandang Jua, Patopang, Cikarau, Piliang IV Rumah, Piliang III Rumah, dan Chaniago. Aku sendiri bersuku Kampai Tolang dan babako ke Malayu. Sembilan suku ini terbagi 2 membentuk semacam asosiasi bernama sapamalayuan dan sapiliangan. Empat suku pertama masuk ke Sapamalayuan dan sisanya adalah Sapiliangan.

Setiap suku memiliki perangkat ampek jinih, yakni Pangulu, Manti, Malin dan Dubalang. Kampai Tolang sukuku, pangulunya bergelar Datuak Rajo Bagagah. Malinnya bergelar Khatib Dubalang, Mantinya Gaga Marajo dan Dubalangnya adalah Dubalang Sutan, mamak kandungku. Sapamalayuan juga memiliki semacam ampek jinih juga, yang diambil dari suku-suku anggotanya. Misalnya, yang menjadi pengulu adalah Datuak Sampono Marajo pangulunya urang Malayu. Malinnya diambil dari kampai ombak, mantinya adalah manti kampai tolang dan dubalangnya dari Kandang Jua.

Di luar itu, nagari kami juga memiliki 3 orang inyiak. Konon ketiga inyiak ini dulu yang manaruko nagari kami untuk pertama kali. Tiga inyiak ini dipimpin oleh inyiak pucuak bergelar Datuak Cumano (Inyiak Cumano), yang merupakan orang Kampai Tolang. Dua orang yang lain adalah Inyiak Rangkayo Bungsu dan Inyak Majo Lelo. Dua inyiak yang kedua ini merangkap juga sebagai pangulu di sukunya masing-masing.

Cukup kompleks memang.

Kata ayahku, di zaman dulu sering sekali diadakan pertandingan bola antar surau. Dimulai pertandingan antar suku sesama balahan sapamaluan atau sapiliangan. Jarang berkelahi. Setelah dilanjutkan antar balahan. Biasanya diakhiri dengan perkelahian. Tapi karena sudah menjadi tradisi bocah-bocah, perkelahian ini ditanggapi biasa saja.

Setiap suku tentu memiliki bermacam-macam suduik. Di kampungku disebut rumah. Rumah ini dipanggil berdasarkan pemangku adat utama di kaum tersebut. Misalnya rumahku, di sebut rumahnya Dubalang Sutan. Bagi rumah yang tidak memiliki perwakilan di barisan empat jinih, dipanggil berdasarkan pemangku gelar yang lain, biasanya yang paling tua. Misalnya rumah pandito mudo.

Sistem warih bajawek untuk masing-masing gelar adalah berdasarkan rumah suduik mereka. Aku tidak akan mungkin menjadi Pangulu, Manti ataupun Malin. Karena di rumahku hanya ada Dubalang. Jadi level tertinggi yang mungkin aku raih hanyalah gelar Dubalang Sutan.

Kehadiran empat jinih sangat mutlak untuk acara-acara penting, terutama pernikahan. Untuk sukuku, malah menjadi lima. Karena Inyiak Cumano, pemimpin nagari ada di sukuku. Tanpa kehadiran lengkap mereka pada sebuah acara pernikahan, jangan harap para tetamu sekampung akan menyantap nasi. Akan dibilang, “yang patuik tampak ndak nampak”. Biasanya kalau sudah kejadian begini, pihak tuan rumah akan menyodorkan carano ke tengah tamu. Pertanda minta maaf, sekaligus pemberitahuan kalau di keluarga kami sedang ada masalah dengan para pemimpin kaum. Ini sering jadi bahan kuncian (kartu as) bagi para niniak mamak untuk para keponakannya yang bandel.

Lalu bagaimana jika salah satu empat jinih ada yang merantau? Bukan masalah, karena biasanya dia berwakil ke kemenaknnya yang dikampung. Panungkek istilah lainnya.

Pengalaman terakhirku berurusan dengan kaum adat ini adalah ketika kaum kami punya permasalahan tanah dengan suku malayu. Suku Bapakku. Kedua kaum ini mengklaim sebagai pemilik sah pasa taranak di mudiak pasa. Dan kedua suku ini sepakat mencoba melalu jalan perundingan adat. Sungguh sebuah penyelesaian yang sangat unik.

Prosesnya dimulai dari perundingan yang melelahkan. Bergantian tempatnya antara rumah kami dan rumah kaum melayu. Dan tak juga menemui kata sepakat. Lalu karena, kami masih satu balahan sapamalayuan. Masalah ini dibawah ke dewan sapamalayuan. Untuk urusan tanah seperti ini diserahkan kepada Tuo Taratak Gindo Sutan, mantinya kaum kampai ombak. Dan masalah ini juga tidak bisa beliau putuskan. Akhirnya diserahkan kepada Inyiak Cumano.

Walaupun inyiak cumano, satu suku denganku. Beliau berjanji netral menyelesaikan masalah ini. Dan beliau memutuskan, bahwa segala perundingan akan dilaksanakan di lokasi perkara. Disinilah aku pernah hadir beberapa waktu. Dan mulailah beberapa kali kami datang lokasi, ibu-ibu menyiapkan makanan. Sebelum berangkat, kami kaum kampai tolanh rumah dubalang sutan melakukan konsolidasi. Lobi ke inyiak cumano. Rencana akting marah-marah dan seterusnya. Cukup seru.

Dimana ayahku dalam posisi ini. Beliau tidak pernah hadir dalam rapat konsolidasi kita. Di kaumnya pun beliau seperti menarik diri, beliau bilang urusan kantor lagi banyak. Tapi ibuku selalu mengupdate status pada beliau. Apakah beliau bercerita juga pada dunsanaknya, aku tak pernah tahu. Tapi rasanya beliau bisa menyimpan rahasia.

Setelah beberapa kali bersidang, lengkap dengan intrik-intrik dan ketegangannya. Tibalah hari keputusan Inyiak Cumano. Dimulai dengan petatah petitih tak tanggung panjangnya. Ia pun mulau menyurahkan riwayat tanah nagari kami. Bagaimana dulu apra tetua kampung membagi tanah-tanah lengkap dengan riwayat gadai, solang (pinjam-red) dan tralala-trilili lainnya. Akhirnya diputuskan bahwa pemilik sah tanah ini adalah kaum suku malayu. Dan kami pun lemas semuanya. Untungnya, kami bisa menerima kekalahan ini dan tidak berusaha meneruskan kasus ini menjadi kasus perdata di pengadilan.

No comments: