Tuesday, June 12, 2007

Tanah Ulayat dan de Soto

Saya tidak pernah mempelajari ekonomi secara khusus. Pengetahuan saya soal ekonomi sangatlah terbatas, mungkin mendekati nihil.



Saya pernah mendengar nama Hernando de Soto sekilas. Terutama menyangkut pemikirannya soal kemiskinan di dunia ketiga. Yang katanya disebabkan oleh pola kepemilikan lahan tidak jelas. Lebih banyak secara informal. Ini menyebabkan, akses ke permodalan tidak pernah ada. Kata de Soto pula, Jepang dan Amerika maju karena sistem kepemilikan lahan mereka jelas.



Pertama mendengar gagasan ini, saya langsung ingat pada sistem tanah ulayat pusako tinggi di kampung saya. Dan menurut saya -yang muda mentah ini- sangatlah tidak jelas. Namanya juga tanah komunal, idealnya memang untuk kepentingan komunitas. Tapi prakteknya, subjektivitas penggarapan pasti akan selalu ada. Mamak kepala kaum, mamak kepala waris, para tungganai atau apapun istilahnya tetap akan sulit 100% objektif dalam pendistribusian tanah garapan. Apalagi jika dalam sebuah suku sudah terbagi dalam paruik-paruik, dimana distribusi orang dan lahannya juga akan sulit merata pula.



Mendengar de Soto dan melihat kondisi paruik, suku dan nagari saya. Saya jadinya manggut-manggut. Pantasan kita tidak pernah maju di bidang ekonomi. Di tanah jawa, juga begitu. Kata kawan saya yang orang jawa, kepemilikan tanah juga masih kabur. Katanya akibat culture stelseel zaman dulu. Diaman setelah itu hanya meninggalkan istilah tanah negara, garapan, sultan grant, girik dan sebagainya.



Sekali lagi, saya ingin bertanya kepada anggota milis ini tentang pendapat Mr de Soto ini dan tanah ulayat kita. Maklumlah, saya tak mengerti ekonomi. Tak paham hukum agraria. Yang saya pahami, hanyalah saya tak punya uang.
Dunsanak di kampung banyak yang kere pula.

No comments: