Monday, June 25, 2007

Palangai dan Kabut Pagi

Sendirian menuntun sepeda. Menembus kabut pagi menyadap karet. Suatu ketika. Pada sebuah masa di tahun 80an. Ketika di kampungku: pagi hari selalu berkabut!

Aku memanggilnya Pak Palangai. Anas gelar Sutan Palangai, sampai saat ini aku tidak tahu palangai itu artinya apa. Sedari aku kecil sampai sekarang, tak banyak perubahan garis wajahnya. Gaya hidupnya juga masih sama. Memakai kemeja bergaya safari, berwarna tanah. Peci yang agak kemerahan, dan sebuah sepeda tua. Mendorong sepeda tua, melewati jalan kecil di samping rumah nenek. Menyapa kami yang sedang berkumpul. Kadang ia juga berhenti sebentar, ngobrol dengan ayahku.


Ia adalah teman sepermainan ayahku dari kecil. SR mereka tamatkan bareng. Di desa kami, tahun itu hanya 8 orang yang sampai kelas terakhir SR. Salah satunya Pak Palangai. Kalau ayahku meneruskan ke SMP, tidak begitu dengan Pak Palangai. Ia hanya berijazah SR saja. Baginya sudah cukup. Kalau kata ayahku lain lagi, Pak Palangai merasa percuma meneruskan ke SMP ataupun SMEP, kalau tidak akan meneruskan ke SMA. Ia pesimis dengan alasan latar belakang ekonomi keluarganya.

Pak Palangai dan keluarganya tidak tinggal di pusat kampung. Ia tinggal di pelataran sawah. Tepatnya Sawah tabek. Disana ia tinggal dengan isteri dan kedua orang anak perempuannya. Hari-harinya sangat biasa. Pagi menyadap karet, siang kerja sawah dan kebun palawija. Malamnya, ia akan pergi ke pusat kampung untuk duduk di lapau. Menonton TV bersama-sama warga lain. Beberapa hari sekali, Pak Palangai mengambil aki yang sedang dicharge buat keperluan ia menyetel TV dan Radio di rumah sawahnya. Di hari pakan, Ia punya kesibukan lain. Yakni, mencukur rambut di pasar. Peralatan sederhana, gunting, alat cukur botak manual, kaca ukuran sedang. Di hari pekan ini pula Pak Palangai punya pakaian khusus. Ia memakai baju batik biru korpri. Entah darimana Pak Palangai mendapatkan kemeja ini.

Ketika listrik PLN menerangi nagari kami, jumlah warga yang tinggal di pelataran sawah semakin berkurang. Mereka berbondong-bondong ke pusat kampung (kami biasa menyebutnya koto). Pak Palangai tidak ikut-ikutan. Ia tetap memilih tinggal di sawah. Tetap setia dengan lampu cogok dan TV bersumber listrik aki. Sekali-kali ia menyalakan petromaks bagi warga kampung kami disebut stronkiang.

Kalau kami pulang kampung. Setelah mengunjungi rumah ibunya (nenekku-pen), ayah akan mengunjungi Pak Palangai. Aku sering diajak menuruni bukit kecil menuju sawah Pak Palangai. Dan Pak Palangai sudah tahu, kalau yang datang adalah aku dan ayah. Kalau ia sedang di dalam rumah, ia akan segera keluar. Begitu juga, kalau ia sedang ada di kebun atau sawah. Pekerjaanya langsung ditinggalkan. Ayah pun segera ambil posisi di balai-balai depan rumah sawah Pak Palangai. Aku biasanya ke dapur, ngobrol dengan isterinya sekaligus meminta dipetikkan kelapa muda. Disitulah aku belajar mengupas kelapa muda, dimana teman-temanku di Jakarta ini jarang yang bisa.

Ayah sepertinya sangat menikmati setiap obrolan dengan Pak Palangai. Banyak yang mereka bicarakan. Dimulai dari situasi keluarga besar mereka, lalu situasi nagari kami, sampai pada situasi negeri ini. Komunikasi ini berlangsung dua arah. Pak Palangai sepertinya bisa mengimbangi pembicaraan ayah, padahal dilihat dari pendidikan formal, mereka cukup terpaut jauh. Kalau nangkanya ada yang berbuah dan matang, ayah pasti akan meminta nangka dari kebun Pak Palangai. Kata ayahku, nangka Palangai sangatlah beda dengan dengan lain.

Ketika ayah sudah bermobil dinas kijang merah dan kijang super, tradisi ke rumah Pak Palangai terus berlanjut. Aku juga sudah mulai terlibat dengan percakapan mereka. Di situ aku tahu, pengetahuan pak palangai cukup luas untuk ukuan seorang yang tinggal di pelataran sawah. Analisanya terhadap sebuah isu besar, selalu menarik untuk ditelaah. Aku masih ingat, ketika ribut-ribut pemilihan gubernur di masa periode kedua Hasan Durin, Pak Palangai bilang ke ayahku pasti Durin terpilih lagi. Katanya, untuk sebuah alasan tertentu Durin cukup mantap dalam mengelola konflik. Rudini tak akan cukup untuk mengganjal Durin. Saya bingung, darimana Pak Palangai bisa tahu hal-hal seperti ini. Kemudian aku sadar, Singgalang hasil pinjaman di kantor kepala desa, RRI Programa Padang gelombang 75, dan TVRI sudah cukup memberikan informasi pada beliau. Informasi ini telah menjadi input yang cukup bagi analisa di kepalanya.

Ketika ayahku kehilangan haknya untuk menduduki jabatan struktural karena persoalan bersih lingkungan, Pak Palangai lah yang menasehati ayah untuk pulang kampung saja. Berkebun dan memelihara tabek, bagus buat obat stress katanya. Ia juga yang rutin menyambangi ayah, hanya sekadar untuk bercerita di rumah. Ia juga yang mendorong ayahku, agar aktif di kegiatan publik di nagari kami. Padahal, Pak Palangai tak pernah sekalipun ikut dalam strukutr formal lembaga desa. Pak Palangai yang paling aktif memunculkan semangat dan percaya diri ayah dan kami sekeluarga. Ketika aku libur kuliah dari tanah jawa, Pak palangai pula yang memberikan semangat agar aku tetap fokus dalam sekolah. Urusan kampung dan keluarga, janganlah terlalu dipikirkan. Kami yang di kampung ini sudah terbiasa mengelola seso.

Tujuh tahun setelah itu -tepatnya di era awal Megawati-, ayahku kembali memiliki hak karir birokratnya. Menjadi seorang eselon III di kantor Bupati. Pak Pelangai kembali ke posisi awal, ia kembali larut di sawah dan kebunnya. Ke rumah kami, ia juga menjadi jarang. Takut mengganggu ayahku alasannya. Katanya bolak balik sejauh 60 kilo sehari, pasti membuat ayahku capek. Paling sesekali, isterinya mengantarkan nangka ke rumah kami.

Setelah ayah pensiun di awal tahun ini, Pak Palangai mulai sering ke rumah. Ia banyak membantu ayah dan mamakku dalam meremajakan kebun karet satu setengah hektar kami. Ia selalu menyisihkan seminggu sekali mengunjungi sawah kami. Pak Palangai dan isterinya selalu hadir dalam proses luluak, batanam, basiang, manyabik tahun ini.

Pak Palangai. Sedikit dari orang yang kukenal tanpa pamrih. Begitu menikmati kesederhanaan. Mungkin, baginya ikhlas melepas semua harapan adalah sebuah kebebasan yang indah.

Salam,

==
Minggu lalu, sebuah sms memberi tahu
Tek Ju, isteri Pak Palangai telah meninggal dunia
Perempuan sederhana tempatku sering minta dipetikkan kelapa muda
Berangkat tenang menuju alam sana

Pak Palangai memiliki dua anak perempuan
Yang pertama, bekerja sebagai guru di nagari kami
Yang kedua, saat ini bekerja di sebuah Bank Swasta di Medan

2 comments:

boes said...

lamak dibaco tulisan2 angku. ambo tunggu carito kampuang nan lain.
wassalam boes

Jejak Seorang Kampung UBGB said...

tarimo kasih mak boes.