Thursday, August 16, 2007

Amir dan Thomas Edison

Dari kecil Amir begitu mengagumi Thomas Alfa Edison. Itu bermula ketika Guru SD Amir bercerita tentang penemu listrik. Walaupun ketika tiba di rumah, Ayah dan Ibunya merevisi, bahwa Edison sebenarnya adalah penemu bola pijar. Apa pun itu, Amir tetap menganggap Edison adalah orang hebat. Bahkan ketika di kelasnya ada anak baru, pindahan dari Jambi bernama Edison, Amir sempat iri bin bingik. Kenapa ia dulu tidak diberikan nama Edison oleh ayah ibunya.

Menurut Amir kecil, kalau tidak ada Edison ia tidak akan bisa menonton TV seperti sekarang ini. Menyaksikan Film Si Unyil, Dari Gelanggang ke Gelanggang terutama bagian relly mobilnya, atau menyaksikan film Flash Gordon. Ketika listrik padam di rumahnya, kekagumannya pada Edison makin tak terbatas. Benar-benar gelap dunia ini tanpa Ediosn, begitu kira-kira. Di perpustakaan SDnya, Amir menemukan sebuah buku bergambar yang bercerita tentang Edison. Di buku itu tertulis, kalau Edison memiliki puluhan paten atas namanya. Ketika di luar, orang berbicara tentang kepatenan. Amir dengan lantang akan berkata, dia tidak berhak disebut "paten". Di dunia ini yang berhak disebut paten hanyalah Edison. Yang lain cuma sok paten.

Di kelas IV SD, Amir menangis sedih ketika Guru Agama menceritakan semua orang yang bukan islam akan masuk Neraka. Berarti Thomas Edison dan Om Sinaga tukang kredit Ibunya akan masuk Neraka. Edison adalah orang hebat. Om Sinaga adalah orang baik. Suka memberikan kipang kacang padanya. Membantu ibu-ibu membelikan Panci, Seprai, Lapiak lipek dan sebagainya. Termasuk memberikan Imsakiyah menjelang bulan puasa, yang dihisab oleh Bapak Arius Saikhi. Amir tidak terima kalau Edison dan Om Sinaga masuk neraka.

SMP dan SMA, Amir sudah mulai melupakan Edison. Ia lebih tertarik dengan wanita. Juga lagu Metallica. Sebenarnya dangdut juga. Cuma Amir sedikit gengsi. Soalnya di majalah HAI yang ia baca, Metallica dan kawan-kawanlah yang dianggap gaul di Jakarta. Nike Ardilla dan Deddy Dorres aja dianggap kampungan, apalagi Kalau Dangdutnya Anis Marsela. Begitu juga lagu Malaysia.

Dan, Amir pun kuliah di tanah Jawa. Sekamar dengan Bang Rajab asal Sidempuan. Dari si Abang, Amir banyak belajar tentang dunia, di luar kuliah dan teman wanita. Amir dan Rajab sering berbincang tentang apa saja. Akhirnya sampai juga pembicaraan tentang Thomas Edison. Ketika bicara tentang Edison, abang biasa saja menanggapi. "Tak adalah itu, kalaupun si Edison tidak ada lampu pijar pasti ditemukan orang juga nya", begitu kata abang. Paling juga tertunda 5 tahun saja. Tapi Amir memang Minang sajati: Iyo kan nan di urang laluan nan di awak. Baginya Thomas Edison tetap orang hebat.

Amir pun mulai terlibat dalam pergulatan pemikiran dengan Bang Rajab. Banyak hal mereka sulit untuk sepakat. Dari sedikit yang mereka sepakati hanyalah soal ketidakadilan konsep penghuni sorga dan neraka versi mutakhir kawan-kawan lain. Bagi Rajab dan Amir, kebajikan seseorang kepada manusia dan peradaban adalah sorga itu sendiri. Bukan yang lain. Lalu Rajab dan Amir mulai berdoa, "Ya Allah. Ya Tuhan kalau memang sorga akan kau berikan kepada manusia ini. Berikan juga untuk Thomas Edison, Abu Thalib dan Isaac Newton. Betapa mereka telah banyak berbuat kebaikan untuk dunia ini. Layaklah sorga-Mu itu sebagai apresiasi bagi mereka. Kalaupun mereka tidak pernah menjadi muslim, Bukankah mereka juga mengakui Tuhannya Ibrahim sebagai Tuhan mereka pula... Amin".

Amir dan Rajab segera menyalakan Sampoerna Mild. Mengambil gitar, menyanyikan lagu Isabella yang lagu Malaysia. Diteruskan dengan Manuk Dadali yang lagu Sunda. Kemudian bercerita tentang pacar-pacar mereka. Mereka, udah loe apain aja....?

Wednesday, August 15, 2007

Pulang Kampung (Surat Untuk Seorang Perantau)

Assalamualaikum,
Dunsanak,
Sama seperti anda, saya juga perantau. Saya berada dalam barisan besar gerombol orang minangkabau yang disebut perantau. Merantau sebenarnya adalah pilihan terakhir buat saya. Kalau boleh memilih, sebenarnya saya ingin tinggal di kampung. Mengurus sawah, parak gatah dan sekali-kali mencari ikan di batang sinama. Namun apa daya, orang tua menyekolahkan ke tanah jawa. Keinginan pun menjadi berubah. Sisi materialistis telah muncul menjadi sebuah hal yang sangat penting. Keinginan sederhana masa kecil telah dikalahkan oleh hasrat untuk mencari bentuk kesuksean lain berupa materi dan posisi publik.

Telah menjadi kebiasaan saya sejak bekerja dan lulus sekolah untuk pulang kampung tiga bulan sekali. Tetap ada sisi romantis dalam diri ini untuk tetap mengunjungi kampung tercinta. Setahun pertama, kepulangan saya ke kampung baru sebatas berkumpul dengan keluarga dan teman-teman lama. Kesan pamer tak bisa dihindari. Saya sudah merasa paling hebat dibanding orang-orang kampung. Kerjaan saya hilir mudik, trus nongkrong di lapau. Setiap menit saya benar-benar begitu menikmati sapaan “Hey, bilo tibo? Iyo alah sanang kini yo?”. Tak peduli sapaan itu benar-benar tulus atau hanya basa basi belaka. Yang penting saya benar-benar jadi besar kepala. Kebetulan rumah kami bertetangga dengan rumah wali nagari, setiap pulang selalu saya sempatkan main ke sana. Di depan Pak Wali saya kembali terlihat sok hebat. Saya berkoar-koar menyampaikan nasehat buat kemajuan kampung ini. Dan kembali saya tetap tak peduli, apakah pak wali benar-benar tulus mendengarkan atau tertawa dalam hati.

Beberapa teman-teman lama pengurus karang taruna semangat pula mengajak saya berdiskusi. Pernah pula saya diajak beraudiensi dengan Pak Camat. Bahkan saya diminta untuk menyusun proposal menyusun feasibility study proyek kelompok usaha ikan keramba milik Karang Taruna. Modalnya berasal dari Dinas Koperasi Kabupaten. Seperti biasa, proyek ini hanya berlangsung satu siklus produksi saja. Namun tak apalah, sebagian uang pakan ikan ada dibelikan ke bola voli dan biaya organ tunggal malam hiburan. Di acara itu, saya sempatkan pula membeli singgang ayam lewat acara lelang.


Dunsanak,
Setelah sekian kali saya pulang kampung. Saya mulai bosan dengan public appereance seperti yang sudah-sudah. Kebosanan ini sengaja dibikin pedih oleh garah kudo seorang teman di lapau yang katanya saya hanya mampasamak kampuang dan mampadiah parasaan urang kampuang. Segera saya teringat ungkapan seorang teman di sebuah milis yang katanya, orang rantau minang hanya bisa membuat orang-orang minang yang ada di kampung punya hasrat ikut-ikutan merantau. Atau, mereka tak mampu membuat orang-orang berhenti merantau. Ucapan ini sangat terasa benarnya. Saat ini kampung kita benar-benar sekarat, yang hidupnya cukup lumayan tinggal kelompok pegawai negeri dan birokrat lainnya. Secara ekonomi kampung kita sudah sakit.


Dunsanak,
Saya bukanlah perantau sesukses anda, apalagi kalau indikator kesukesan berbentuk materi dan kedudukan. Saya sangatlah jauh di bawah. Tapi di balik kecilnya peran sosial dan terbatasnya materi, saya mulai mencoba bergerak nyata di kampung saya. Soal hasil, itu urusan nomor dua. Setiap kepulangan berikut, saya mencoba melakukan sesuati yang lebih nyata. Terutama untuk keluarga satu rumpun dulu. Mulailah kami berkolam ikan dan pelihara bebek. Semua tak pernah lagi melibatkan Pak Walinagari termasuk Karang Taruna juga. Duduak di lapau atau hilia mudiak keliling kampung pun sudah saya kurangi. Saya baru sadar, kepuasan terhadap achievement kita terletak pada hati nurani kita sendiri, bukan pada ekspose media apalagi penerimaan penguasa.


Wassalam

Thursday, August 2, 2007

Bilih Singkarak

Hari ini aku makan bilih. Seorang kawan lama mengantarkan ke rumah. Langsung dari Paninggahan, sebuah nagari di tepian barat danau singkarak. Setelah sebulan sebelumnya tidak sengaja bertemu di sebuah pusat perbelanjaan. Ia pun bercerita, kalau hendak pulang kampung. Tak lupa kuminta dititipkan bilih goreng.


Ingatanku kembali ke masa kecil di Paninggahan, dan nagari-nagari lain di tepian danau singkarak. Dua belas tahun awal kehidupan kuhabiskan disini. Dua adikku dilahirkan di Singkarak, yang bungsu lahir di Paninggahan. Aku sendiri lahir di Sulit Air. Danausingkarak begitu mempengaruhi masaku tumbuh.


Banyak kenanganku di Paninggahan. Sebagian besar daerah ini sudah aku jelajahi. Mulai dari gando di sisi timur sampai Subarang di perbatasan Malalo. Ke selatannya juga aku sudah pernah. Daerah kapalo aia dan gagauan. Kalau diteruskan kita bisa sampai ke kawasan hutan tempat Gamawan Fauzi pernah nyasar.



Salah satu yang masih kuingat adalah alahan di tepian danau singkarak. Alahan adalah tempat nelayan danau menangkap bilih. Sebenarnya alahan adalah muara banda atau sungai kecil di danau singkarak. Ikan bilih biasanya sangat senang berkumpul di muara banda ini. Mungkin karena kandungan oksigen air yang masuk lebih tinggi daripada air di tengah danau. Biasanya subuh-subuh nelayan danau menangkap ikan. Alahan ini akan mereka bendung pada subuh. Dan ikan yang sudah ada akan terperangkap. Mereka menggunakan tangguak untuk menangkapnya. Biasanya mereka memakai sejenis daun yang bisa membuat ikan lemas. Mirip-mirip proses hibernasi pada udang ketika hendak diekspor.



Aku pernah beberapa kali menemani ayah ke alahan di subuh hari. Ayah langsung ke alahan kalau hendak membeli bilih dengan jumlah besar. Minimal 3 ember. Biasanya kalau ada acara jamuan besar di kantor ayah. Pernah pula kita subuh-subuh ke alahan karena ada permintaan dari Gubernur. Beliau mau mengadakan jamuan di Padang buat pejabat-pejabat Jakarta.



Aku begitu menikmati proses penangkapan ikan di alahan ini. Bangun subuh. Naik motor dibonceng ayah. Melihat kesibukan orang di subuh hari. Memakai sebo hitam dan lampu senter. Berendam dalam air. Lalu menangguk bilih. Kemudian bilih mulai dicurahkan ke dalam ember-ember milik pedagang. Siap untuk dikirimkan ke pakan-pakan di wilayah Solok dan sekitarnya. Bau anyir tak pernah menggangguku. Yang aku lihat hanyalah kilatan putih bilih di temaramnya fajar. Sungguh, aku rindu masa-masa itu.



Lebaran 2002, saya ke Paninggahan. Ayahku ingin kesana katanya. Katanya disanalah bagian paling mengesankan dalam karir kerjanya. Ternyata selama 7 tahun diparkirkan karena dianggap anak PKI, ayah selalu merindukan Paninggahan. Mungkin ayah menganggap, hadiah naik haji yang diberikan negara banyak disumbangkan oleh periode tugasnya di Paninggahan. Jadi sebelum berangkat haji, kita berkunjung ke Paninggahan.


Tak banyak yang berubah di nagari ini. Sapaan masyarakatnya masih khas. Rumah-rumah di sepanjang jalan utama masih terlihat padat. Di Jorong Subarang kami mampir di rumah teman ayah. Rumahnya dekat dari danau. Danaunya bersih karena jauh dari rumah penduduk. Dari perkampungan ke danau, kita harus melewati persawahan lebih dulu. Disitu dulu kita sering berenang. Mencari bekas sendal jepit. Diberi layar. Berharap dibawa riak sampai ke Ombilin di seberang sana. Menyapa penumpang bus yang lagi makan di Rumah Makan Angin Berembus....



* Pernah diposting di milis RantauNet