Hari ini aku makan bilih. Seorang kawan lama mengantarkan ke rumah. Langsung dari Paninggahan, sebuah nagari di tepian barat danau singkarak. Setelah sebulan sebelumnya tidak sengaja bertemu di sebuah pusat perbelanjaan. Ia pun bercerita, kalau hendak pulang kampung. Tak lupa kuminta dititipkan bilih goreng.
Ingatanku kembali ke masa kecil di Paninggahan, dan nagari-nagari lain di tepian danau singkarak. Dua belas tahun awal kehidupan kuhabiskan disini. Dua adikku dilahirkan di Singkarak, yang bungsu lahir di Paninggahan. Aku sendiri lahir di Sulit Air. Danausingkarak begitu mempengaruhi masaku tumbuh.
Banyak kenanganku di Paninggahan. Sebagian besar daerah ini sudah aku jelajahi. Mulai dari gando di sisi timur sampai Subarang di perbatasan Malalo. Ke selatannya juga aku sudah pernah. Daerah kapalo aia dan gagauan. Kalau diteruskan kita bisa sampai ke kawasan hutan tempat Gamawan Fauzi pernah nyasar.
Salah satu yang masih kuingat adalah alahan di tepian danau singkarak. Alahan adalah tempat nelayan danau menangkap bilih. Sebenarnya alahan adalah muara banda atau sungai kecil di danau singkarak. Ikan bilih biasanya sangat senang berkumpul di muara banda ini. Mungkin karena kandungan oksigen air yang masuk lebih tinggi daripada air di tengah danau. Biasanya subuh-subuh nelayan danau menangkap ikan. Alahan ini akan mereka bendung pada subuh. Dan ikan yang sudah ada akan terperangkap. Mereka menggunakan tangguak untuk menangkapnya. Biasanya mereka memakai sejenis daun yang bisa membuat ikan lemas. Mirip-mirip proses hibernasi pada udang ketika hendak diekspor.
Aku pernah beberapa kali menemani ayah ke alahan di subuh hari. Ayah langsung ke alahan kalau hendak membeli bilih dengan jumlah besar. Minimal 3 ember. Biasanya kalau ada acara jamuan besar di kantor ayah. Pernah pula kita subuh-subuh ke alahan karena ada permintaan dari Gubernur. Beliau mau mengadakan jamuan di Padang buat pejabat-pejabat Jakarta.
Aku begitu menikmati proses penangkapan ikan di alahan ini. Bangun subuh. Naik motor dibonceng ayah. Melihat kesibukan orang di subuh hari. Memakai sebo hitam dan lampu senter. Berendam dalam air. Lalu menangguk bilih. Kemudian bilih mulai dicurahkan ke dalam ember-ember milik pedagang. Siap untuk dikirimkan ke pakan-pakan di wilayah Solok dan sekitarnya. Bau anyir tak pernah menggangguku. Yang aku lihat hanyalah kilatan putih bilih di temaramnya fajar. Sungguh, aku rindu masa-masa itu.
Lebaran 2002, saya ke Paninggahan. Ayahku ingin kesana katanya. Katanya disanalah bagian paling mengesankan dalam karir kerjanya. Ternyata selama 7 tahun diparkirkan karena dianggap anak PKI, ayah selalu merindukan Paninggahan. Mungkin ayah menganggap, hadiah naik haji yang diberikan negara banyak disumbangkan oleh periode tugasnya di Paninggahan. Jadi sebelum berangkat haji, kita berkunjung ke Paninggahan.
Tak banyak yang berubah di nagari ini. Sapaan masyarakatnya masih khas. Rumah-rumah di sepanjang jalan utama masih terlihat padat. Di Jorong Subarang kami mampir di rumah teman ayah. Rumahnya dekat dari danau. Danaunya bersih karena jauh dari rumah penduduk. Dari perkampungan ke danau, kita harus melewati persawahan lebih dulu. Disitu dulu kita sering berenang. Mencari bekas sendal jepit. Diberi layar. Berharap dibawa riak sampai ke Ombilin di seberang sana. Menyapa penumpang bus yang lagi makan di Rumah Makan Angin Berembus....
* Pernah diposting di milis RantauNet
No comments:
Post a Comment