Thursday, October 9, 2008

Refleksi Seorang Pemudik

Alhamdulillah, perjalanan mudik yang saya lakukan berjalan dengan lancar, selamat pulang pergi. Secara total, perjalanan mudik menempuh angka lima ribu kilometer. Semua mencakup perjalanan pulang pergi dan mondar-mandir selama di kampung. Semua dilakukan atas nama sebuah kegiatan pulang kampung alias mudik di hari yang suci ini. Silakan pro dan kontra dengan hajatan ini. Sampai hari ini, bagi saya mudik lebaran masih merupakan sebuah "exciting moment". Sebuah pengalaman indah, berkumpul dengan kedua orang tua, adik-kakak dan seluruh sanak keluarga lainnya. Terlebih lagi, keluarga besar masih banyak yang tinggal di kampung. Perantau masih berhitung jari.


Walaupun saya berbakat untuk komplain atau bahkan mungkin bernama tengah "protes", untuk urusan mudik sulit bagi saya untuk melakukan protes kepada pemerintah, terutama berkaitan dengan infrastruktur. Asumsi dasar pembangunan infrastruktur bukanlah pada kondisi hondoh poroh saat mudik. Asumsi yang dipakai adalah sebuah kondisi mobilitas normal. Untuk kondisi normal saja mereka sudah acak-acakan, konon kok pula ketika mudik. Untuk alasan ini, saya bisa menerima berantri naik ferri selama 4 jam mobil terparkir di Merak. Justru saya menyesalkan keberadaan negara ini untuk melayani masyarakat hanya terlihat ketika mudik tiba. Seolah mereka bekerja sepenuh hati hanya ketika mudik. Polisi-polisi terlihat semangat berpatroli dengan pos-pos yang tersebar dimana-mana. Mereka gesit mengatur lalu lintas. Petugas SAR dan paramedik bersiaga penuh. Kendaraan laut, darat dan udara bersedia siaga penuh selama kurun mudik. Pak Camat, lurah dan seterusnya juga tidak boleh meninggalkan wilayah kerja dan harus tetap terus berkoordinasi. Jalan-jalan segera diaspal licin, lampu jalan di tambah, alat-alat berat stand by di lokasi rawan longsor. Padahal semestinya, tanpa kurun mudik pun mereka memang sudah bekerja dengan semangat yang sama. Memang sudah kewajiban mereka seperti itu. "Minimum requirement" orang-orang yang saya sebutkan di atas memang seperti itu. Kurun lebaran atau tidak.


Setiba di kampung halaman, setiap moment silaturahim memang saya nikmati. Jauh di lubuk hati, saya sudah bertekad untuk menghindari kesan pamer untuk setiap kepulangan mudik. Appearance berbentuk penyumbangan atau ota-ota untuk memajukan kampung tidak akan saya lakukan lagi. Saya pulang murni untuk bersilaturahmi. Kalaupun ada halal bi halal kaum dan nagari, saya hadiri memang untuk bersilaturahmi. Saya tidak mau menyumbang di acara itu, walaupun pembawa acara dan peminta sumbangan terus berteriak. Saya hanya jawab nanti lah. Berpendapat sok tau dan menggurui pun tidak dilakukan. Banyak diam dan mendengar saja. Kalaupun nanti saya dianggap sampilik dan sombong, saya sudah tidak peduli. Saya pulang hanya untuk bersilaturahmi. Soal sumbangan kepada kampung, ada cara dan jalan yang lain.

Maunya saya, masyarakat di kampung menanggapi sekadar saja terhadap para pemudik atau para perantau pulang basamo. Tak perlu lah tebaran spanduk mengucapkan selamat datang. Tak ada decak kagum berlebihan lagi. Kalaupun mereka pulang, salami saja lah dengan sebuah salaman dek alah lamo indak basuo. Tak perlu lagi drum-drum bekas di tengah labuah lengkap dengan orang membawa tangguak meminta kerilaan perantau untuk membangun masjid atau turnamen bolakaki.

Maunya saya lagi, perantau pemudik tak lagi berebut membeli singgang ayam ketika pulang. Tak perlu juga bertingkah-meningkah dalam menyebutkan jumlah sumbangan untuk surau dan masjid. Cerita sok tau berupa seolah brief untuk kemajuan kampung perlu kita kurangi. Kita pulang untuk bersilaturahim dan berkumpul dengan orang-orang yang kita cintai di kampung halaman. Memaksakan diri untuk terlihat bergaya di kampung halaman mudah-mudahan tidak lagi kita lakukan. Kita pulang apa adanya saja.

Di kampung, saya lihat kehidupan berjalan seperti nan taralah. Menjadi Pegawai Negeri Sipil masih terlihat sebagai jalan keluar utama penyambung hidup. Bagi sebagian orang berharap dengan menjadi anggota legislatif. Spanduk dan baliho berisi lambang partai, foto diri dan ucapan selamat idul fitri bertebaran di seluruh pelosok kampung. Sebagian masih berharap dari rasaki harimau, berharap menemukan emas di sepanjang sungai. Sebagian apak dan mamak kita, masih gadang ota dan sok tau. Sebagian lagi masih setia bertani di sawah, menggembalakan ternak dan berladang. Sebagian anak muda masih rajin ke sekolah, surau dan masjid. Sebagian muda lagi, rambutnya sudah diwarnai. Kampung kita masih mengalir dan bergerak. Kampung juga sebuah kedimanisan. Tapian tampek mandi sudah di setiap sudut kamar tidur.

Bagi saya, mudik tetaplah sebuah keindahan dan momen berharga. Selamat menjadi pemudik. Insya Allah, lebaran tahun depan saya akan mudik lagi.

No comments: