Mengenang jejak masa lalu selalu punya keasyikan tersendiri. Mungkin karena sembari mengingat-ingat, perasaan kita juga diaduk-aduk. Kali ini saya mencoba meretas ingatan masa lalu ke dalam sebuah tulisan. Mudah-mudahan bermanfaat.
Tanjung Balit, Kecamatan X Koto di Atas. Di nagari ini, aku dilahirkan di Tahun 1978. Untuk selanjutnya, nama nagari tercantum di akte kelahiran, Ijazah SMP, SMU dan Universitas. Untuk KTP, aku menggunakan Solok saja. Kata Pak Lurah dulu, cukup nama daerah tingkat dua saja yang dicantumkan. Untuk ke tanjung Balit ada dua jalan utama ketika itu, lewat Paninjauan atau Sulik Aia. Kedua simpang jalan ini berada di Singkarak. Jarak tempuhnya juga tidak beda jauh.
Nyaris tak ada memori tentang masa sangat kecil ini di Tanjung Balit. Kalaupun ada, hanyalah dari cerita orang tua dan keluarga lainnya. Aku lahir ketika ayah bertugas di Kantor Camat X Koto di Atas. Ini merupakan daerah penugasan pertama ayah selepas beliau menamatkan APDN Bukittinggi. Di masa ini pula, ayah dan ibuku menikah dan aku dilahirkan. Waktu itu, kantor camatnya baru pindah dari Sulit Air ke Tanjung Balit. Kalau nagari-nagari di kecamatan ini diranking, mungkin Tanjung Balit berada di posisi ke tiga setelah Sulit Air dan Paninjauan. Tapi tidak tahu juga, kenapa Ibu Kecamatannya ada di Tanjung Balit.
Dari cerita orang-orang, aku mengambil kesimpulan bahwa masa itu adalah masa yang cukup menyenangkan. Ayah dan Ibu mengontrak rumah keluarga cukup terpandang di Tanjung Balik. Yang paling aku ingat adalah nama Ibu Nia dan Ibu De. Ibu Nia adalah seorang Guru SD di Tanjung Balit ini. Salah satu keluarga mereka adalah pemilik mobil Tanjung Harapan. Bis kecil yang melayani rute Tanjung Balit dan Kota Solok.
Keluarga besar ini cukup dekat dengan kami. Generasi kedua keluarga ini memanggil Ayah dan Ibuku dengan Uni dan Uda saja. Sedangkan generasi pertama memanggil cukup memanggil nama. Secara aku dilahirkan disana, mereka sangat menyayangi aku. Katanya aku lah tangisan bayi pertama setelah sekian lama tidak ada tangisan bayi di komplek keluarga ini. Sampai sekarang pun, mereka masih menganggap aku keponakan kecil mereka. Walaupun sebentar lagi, aku sudah bisa memberikan mereka cucu.
Dari kakek, aku juga mendapat cerita perjalanan kaki beliau dari Sulit Air ke Tanjung Balit. Atau cerita lain berjalan kaki ke Sawahlunto via Sibarambang, Kajai atau Talago Gunuang. Kakek memang sangat hobi berjalan kaki. Mungkin itu yang menyebabkan fisik beliau tetap kuat di usia yang sudah menginjak kepala delapan.
Kalau dari keluarga tempat ayah mengontrak rumah, cerita yang paling sering kudengar adalah cerita tentang tangisku yang keras ketika dimandikan. Baik ketika masih mandi di baskom di depan rumah, sampai ketika sudah mulai mandi di Batang Katialo.
Dari ayah dan ibu, lain lagi cerita uniknya. Masa bulan madu mereka, adalah masa yang cukup panas. Masa dimana Pemilu dan Sidang Umum MPR didramatisir oleh pemerintah orde baru lewat Kopkamtibdanya. Sebagai camat muda-istilah untuk lulusan APDN yang baru ditugaskan-, ayahku diberikan sepucuk pistol. Dasar wong sipil ndeso, punya pistol bukannya tambah berani, malah jadi takut. Pikiran jadi kemana-mana. Mulai dari takut ada yang nyolong, sampai takut dibunuh. Akhirnya mereka di malam pertama pistol menginap, tidak bisa tidur. Dan mulai malam berikutnya, si pistol diinapkan di tempat yang tak layak. Kalau tidak salah dibalik periuk yang lagi digantung di dinding.
Fase kedua di Tanjung Balit, adalah di tahun 1984. Selepas dari Singkarak, ayah sempat dipindah ke Tanjung Balit lagi. Tapi hanya sebentar, sekitar 6-8 bulan saja. Disana kami mengontrak rumah yang agak ke tepi kampung. Arah ke Sibarambang. Walaupun fase ini sebentar saja, kenangannya cukup berbekas. Main gundu, dan main suruak-suruakan (petak umpet kalau di jawanya) di sebuah surau adalah rutinitas soreku. Paginya, memintas jalan di tengah kebun kopi kalau hendak ke sekolah juga sebuah kenangan indah. Walaupun kata orang-orang kampung sana, aku pernah tasapo di kebun kopi itu sehingga pernah menderita demam panas tinggi.
Bermain ke rumah Bu Nia dan Bu De juga menjadi rutinitas kami. Ibu berdua ini sudah menganggap aku cucunya. Jadi kalau ketemu di pasar bersama kawan-kawan, beliau suka marah melihat aku yang dekil. Hal lain yang cukup membekas adalah ketika ke Sulit Aia, aku langsung terkagum-kagum melihat kemegahan masjid, puskesmas dan pasarnya. Disitu juga aku mulai tahu, bahwa perantau sulit air sukses-sukses. Melebihi nagari-nagari lain di kecamatan ini.
Suatu saat aku akan kembali ke Tanjung Balit, membawa keturunanku. Menapaktilasi sebuah tempat yang tercantum di akte kelahiranku. Melewati jalan menanjak berliku sambil memandang birunya danau singkarak dari jauh.
Tanjung Balit, Kecamatan X Koto di Atas. Di nagari ini, aku dilahirkan di Tahun 1978. Untuk selanjutnya, nama nagari tercantum di akte kelahiran, Ijazah SMP, SMU dan Universitas. Untuk KTP, aku menggunakan Solok saja. Kata Pak Lurah dulu, cukup nama daerah tingkat dua saja yang dicantumkan. Untuk ke tanjung Balit ada dua jalan utama ketika itu, lewat Paninjauan atau Sulik Aia. Kedua simpang jalan ini berada di Singkarak. Jarak tempuhnya juga tidak beda jauh.
Nyaris tak ada memori tentang masa sangat kecil ini di Tanjung Balit. Kalaupun ada, hanyalah dari cerita orang tua dan keluarga lainnya. Aku lahir ketika ayah bertugas di Kantor Camat X Koto di Atas. Ini merupakan daerah penugasan pertama ayah selepas beliau menamatkan APDN Bukittinggi. Di masa ini pula, ayah dan ibuku menikah dan aku dilahirkan. Waktu itu, kantor camatnya baru pindah dari Sulit Air ke Tanjung Balit. Kalau nagari-nagari di kecamatan ini diranking, mungkin Tanjung Balit berada di posisi ke tiga setelah Sulit Air dan Paninjauan. Tapi tidak tahu juga, kenapa Ibu Kecamatannya ada di Tanjung Balit.
Dari cerita orang-orang, aku mengambil kesimpulan bahwa masa itu adalah masa yang cukup menyenangkan. Ayah dan Ibu mengontrak rumah keluarga cukup terpandang di Tanjung Balik. Yang paling aku ingat adalah nama Ibu Nia dan Ibu De. Ibu Nia adalah seorang Guru SD di Tanjung Balit ini. Salah satu keluarga mereka adalah pemilik mobil Tanjung Harapan. Bis kecil yang melayani rute Tanjung Balit dan Kota Solok.
Keluarga besar ini cukup dekat dengan kami. Generasi kedua keluarga ini memanggil Ayah dan Ibuku dengan Uni dan Uda saja. Sedangkan generasi pertama memanggil cukup memanggil nama. Secara aku dilahirkan disana, mereka sangat menyayangi aku. Katanya aku lah tangisan bayi pertama setelah sekian lama tidak ada tangisan bayi di komplek keluarga ini. Sampai sekarang pun, mereka masih menganggap aku keponakan kecil mereka. Walaupun sebentar lagi, aku sudah bisa memberikan mereka cucu.
Dari kakek, aku juga mendapat cerita perjalanan kaki beliau dari Sulit Air ke Tanjung Balit. Atau cerita lain berjalan kaki ke Sawahlunto via Sibarambang, Kajai atau Talago Gunuang. Kakek memang sangat hobi berjalan kaki. Mungkin itu yang menyebabkan fisik beliau tetap kuat di usia yang sudah menginjak kepala delapan.
Kalau dari keluarga tempat ayah mengontrak rumah, cerita yang paling sering kudengar adalah cerita tentang tangisku yang keras ketika dimandikan. Baik ketika masih mandi di baskom di depan rumah, sampai ketika sudah mulai mandi di Batang Katialo.
Dari ayah dan ibu, lain lagi cerita uniknya. Masa bulan madu mereka, adalah masa yang cukup panas. Masa dimana Pemilu dan Sidang Umum MPR didramatisir oleh pemerintah orde baru lewat Kopkamtibdanya. Sebagai camat muda-istilah untuk lulusan APDN yang baru ditugaskan-, ayahku diberikan sepucuk pistol. Dasar wong sipil ndeso, punya pistol bukannya tambah berani, malah jadi takut. Pikiran jadi kemana-mana. Mulai dari takut ada yang nyolong, sampai takut dibunuh. Akhirnya mereka di malam pertama pistol menginap, tidak bisa tidur. Dan mulai malam berikutnya, si pistol diinapkan di tempat yang tak layak. Kalau tidak salah dibalik periuk yang lagi digantung di dinding.
Fase kedua di Tanjung Balit, adalah di tahun 1984. Selepas dari Singkarak, ayah sempat dipindah ke Tanjung Balit lagi. Tapi hanya sebentar, sekitar 6-8 bulan saja. Disana kami mengontrak rumah yang agak ke tepi kampung. Arah ke Sibarambang. Walaupun fase ini sebentar saja, kenangannya cukup berbekas. Main gundu, dan main suruak-suruakan (petak umpet kalau di jawanya) di sebuah surau adalah rutinitas soreku. Paginya, memintas jalan di tengah kebun kopi kalau hendak ke sekolah juga sebuah kenangan indah. Walaupun kata orang-orang kampung sana, aku pernah tasapo di kebun kopi itu sehingga pernah menderita demam panas tinggi.
Bermain ke rumah Bu Nia dan Bu De juga menjadi rutinitas kami. Ibu berdua ini sudah menganggap aku cucunya. Jadi kalau ketemu di pasar bersama kawan-kawan, beliau suka marah melihat aku yang dekil. Hal lain yang cukup membekas adalah ketika ke Sulit Aia, aku langsung terkagum-kagum melihat kemegahan masjid, puskesmas dan pasarnya. Disitu juga aku mulai tahu, bahwa perantau sulit air sukses-sukses. Melebihi nagari-nagari lain di kecamatan ini.
Suatu saat aku akan kembali ke Tanjung Balit, membawa keturunanku. Menapaktilasi sebuah tempat yang tercantum di akte kelahiranku. Melewati jalan menanjak berliku sambil memandang birunya danau singkarak dari jauh.
1 comment:
saya membuat informasi tentang tanjung balik , bisa minta tolong di verifikasi? karena saya tidak lahir disana, ortu sy asli sana. Oh ya sekarang namanya tanjung balik, bukan tanjung balit.
Post a Comment