Singkarak sungguh beruntung, nama nagari ini diabadikan sebagai nama danau terbesar di Sumatera Barat. Menurut saya kajian mengapa danau ini bernama Singkarak merupakan suatu hal yang menarik. Kenapa danau ini tidak bernama danau Malalo, Sumpur, Kacang, Paninggahan atau seterusnya. Karena kalau dilihat berdasarkan sumber air danau, Sumani mungkin lebih tepat dijadikan sebagai nama danau ini. Karena Batang Gumanti/Batang Sumani bermuara di danau ini, sehingga menjadi sungai secara relatif di nagari ini batas “bendungan” alami danau singkarak. Atau, berdasar ke tempat outletnya air danau ini, Danau Ombilin juga lebih tepat. Mirip penamaan waduk Jatiluhur, atau Cirata di Jawa Barat.
Kalau berdasar ukuran panjang “pantai”, Danau Kacang lebih tepat juga disebut. Karena nagari yang memiliki pantai danau terpanjang adalah Kacang. Mulai dari biteh (batas dari ombilin) sampai ke batas Tikalak relatif lebih panjang dari pantai lain. Singkarak mungkin termasuk nagari yang memiliki pantai danau yang pendek dibanding nagari-nagari lain. Tapi anyway, Singkarak memang sangat beruntung nama nagarinya diabadikan sebagai nama danau ini.
Saya memang punya kenangan yang kuat dengan Danau Singkarak dan Nagari Singkarak. Tahun 1979, kami pindah dari Tanjung Balik (Kecamatan X Koto di Atas) ke Singkarak. Ayah menjadi Pak KK di kantor camat Singkarak. Kami mengontrak rumah sebuah rumah panggung di jorong pasia. Disinilah memori masa kecilku mulai tumbuh. Banyak kenangan di rumah panggung ini. Mulai dari pesta ulang tahun, kelahiran adik kedua. Kelahiran adik pertama, aku tidak ingat sama sekali. Maklum jaraknya denganku hanya satu setengah tahun.
Yang paling aku ingat disini adalah suara motor ayah, suzuki warna kuning berlogo pemilu 1982. Kalau sudah mendengar suara motor ini, aku biasanya buru-buru keluar berlari. Apalagi kalau ayah membawa nasi bungkus sisa rapat di kantor. Biasanya langsung kita tambahkan dengan nasi di rumah, lalu kita makan beramai. Hua hua.. kepedesan.
Dari cerita ayah, terlihat masa ini adalah masa yang cukup berkesan sepanjang penugasan beliau. Beliau menjadi KK melayani 4 atau 5 camat yang datang silih berganti. Juga banyaknya kegiatan-kegiatan besar yang beliau tangani dimasa itu. Mulai dari pekan penghijauan nasional di Aripan, dimana Soeharto datang. Pembangunan SMA, kantor camat baru, hingga pembangunan sebuah Balai Penelitian Departemen Pertanian. Beberapa proyek pembangunan ini tentu membutuhkan lahan. Ayahku selalu terlibat penuh dalam upaya pembebasan lahan untuk beberapa pembangunan ini. Dan tentu saja, semuanya tidak selalu mulus.
Lebaran tiba adalah masa yang paling indah bagiku dan adik-adik. Setiap tahun di Singkarak diadakan semacam pesta rakyat. Bermacam-macam permainan diadakan. PJKA juga membuka kembali untuk seminggu angkutan penumpang dengan rute Stasiun Solok-Stasiun Singkarak-ke Batu Taba. Jualan mainan anak berlimpah ruah. Benda yang paling kuingat adalah kamera plastik imitasi yang berisi air, kalau dipencet airnya keluar menembak mata orang di depan. Bau khas plastik mainan ini, sampai sekarang masih berada di memori indra penciumanku.
Karena Singkarak selalu ramai setiap lebaran, kami tidak pernah merayakan lebaran di tempat nenek. Ayah harus selalu stand by di lokasi. Berjaga-jaga agar pesta rakyat ini tetap dalam jalurnya. Tidak ada perahu yang tenggelam, buaian kaliang patah, permainan judi dadu kuncang. perkelahian antar kampung dan seterusnya. Tapi itu tidaklah menjadi masalah, justru lebaran kedua dunsanak-baik jauh ataupun dekat-dari kampung berdatangan rumah kami. Selain berkunjung ke keluarganya, mereka juga sekalian berwisata ke Singkarak. Raun-raun ke Singkarak memang sudah jadi tradisi orang kampung kami. Dan kali ini mereka punya tempat singgah yang pas. Tak jarang mereka menginap lebih dari dua malam. Aku dan adik-adik senang saja. Mereka suka memberi salam tempel. Dan uangnya bisa kubelikan bermacam-macam mainan.
Sayang pesta rakyat semacam di danau Singakarak ini masih menjadi mindset utama para birokrat pengurus pariwisata. Sedari saya kecil tidak pernah berubah, semua masih dilihat dari jumal entry tiket masuk ke objek wisata. Menggarap wisata masih berkonsep keramaian buaian kaliang dan pasar malam. Mengembangkan pariwisata jauh lebih kompleks daripada sekadar itu semua.
Kalau berdasar ukuran panjang “pantai”, Danau Kacang lebih tepat juga disebut. Karena nagari yang memiliki pantai danau terpanjang adalah Kacang. Mulai dari biteh (batas dari ombilin) sampai ke batas Tikalak relatif lebih panjang dari pantai lain. Singkarak mungkin termasuk nagari yang memiliki pantai danau yang pendek dibanding nagari-nagari lain. Tapi anyway, Singkarak memang sangat beruntung nama nagarinya diabadikan sebagai nama danau ini.
Saya memang punya kenangan yang kuat dengan Danau Singkarak dan Nagari Singkarak. Tahun 1979, kami pindah dari Tanjung Balik (Kecamatan X Koto di Atas) ke Singkarak. Ayah menjadi Pak KK di kantor camat Singkarak. Kami mengontrak rumah sebuah rumah panggung di jorong pasia. Disinilah memori masa kecilku mulai tumbuh. Banyak kenangan di rumah panggung ini. Mulai dari pesta ulang tahun, kelahiran adik kedua. Kelahiran adik pertama, aku tidak ingat sama sekali. Maklum jaraknya denganku hanya satu setengah tahun.
Yang paling aku ingat disini adalah suara motor ayah, suzuki warna kuning berlogo pemilu 1982. Kalau sudah mendengar suara motor ini, aku biasanya buru-buru keluar berlari. Apalagi kalau ayah membawa nasi bungkus sisa rapat di kantor. Biasanya langsung kita tambahkan dengan nasi di rumah, lalu kita makan beramai. Hua hua.. kepedesan.
Dari cerita ayah, terlihat masa ini adalah masa yang cukup berkesan sepanjang penugasan beliau. Beliau menjadi KK melayani 4 atau 5 camat yang datang silih berganti. Juga banyaknya kegiatan-kegiatan besar yang beliau tangani dimasa itu. Mulai dari pekan penghijauan nasional di Aripan, dimana Soeharto datang. Pembangunan SMA, kantor camat baru, hingga pembangunan sebuah Balai Penelitian Departemen Pertanian. Beberapa proyek pembangunan ini tentu membutuhkan lahan. Ayahku selalu terlibat penuh dalam upaya pembebasan lahan untuk beberapa pembangunan ini. Dan tentu saja, semuanya tidak selalu mulus.
Lebaran tiba adalah masa yang paling indah bagiku dan adik-adik. Setiap tahun di Singkarak diadakan semacam pesta rakyat. Bermacam-macam permainan diadakan. PJKA juga membuka kembali untuk seminggu angkutan penumpang dengan rute Stasiun Solok-Stasiun Singkarak-ke Batu Taba. Jualan mainan anak berlimpah ruah. Benda yang paling kuingat adalah kamera plastik imitasi yang berisi air, kalau dipencet airnya keluar menembak mata orang di depan. Bau khas plastik mainan ini, sampai sekarang masih berada di memori indra penciumanku.
Karena Singkarak selalu ramai setiap lebaran, kami tidak pernah merayakan lebaran di tempat nenek. Ayah harus selalu stand by di lokasi. Berjaga-jaga agar pesta rakyat ini tetap dalam jalurnya. Tidak ada perahu yang tenggelam, buaian kaliang patah, permainan judi dadu kuncang. perkelahian antar kampung dan seterusnya. Tapi itu tidaklah menjadi masalah, justru lebaran kedua dunsanak-baik jauh ataupun dekat-dari kampung berdatangan rumah kami. Selain berkunjung ke keluarganya, mereka juga sekalian berwisata ke Singkarak. Raun-raun ke Singkarak memang sudah jadi tradisi orang kampung kami. Dan kali ini mereka punya tempat singgah yang pas. Tak jarang mereka menginap lebih dari dua malam. Aku dan adik-adik senang saja. Mereka suka memberi salam tempel. Dan uangnya bisa kubelikan bermacam-macam mainan.
Sayang pesta rakyat semacam di danau Singakarak ini masih menjadi mindset utama para birokrat pengurus pariwisata. Sedari saya kecil tidak pernah berubah, semua masih dilihat dari jumal entry tiket masuk ke objek wisata. Menggarap wisata masih berkonsep keramaian buaian kaliang dan pasar malam. Mengembangkan pariwisata jauh lebih kompleks daripada sekadar itu semua.
No comments:
Post a Comment