Selepas dari Singkarak, di tahun 1984 ayah sempat dipindah ke Tanjung Balit lagi. Tapi hanya sebentar, sekitar 6-8 bulan saja. Disana kami mengontrak rumah yang agak ke tepi kampung. Arah jalan ke Paninjauan. Tak banyak kenangan di masa ini, selain main gundu, jalan di tengah kebun kopi ke sekolah.
Awal tahun 1985, ayah diangkat jadi kepala perwakilan kecamatan X Koto Singkarak di Paninggahan, yang meliputi wilayah Paninggahan dan Muara Pingai. Sekarang daerah ini sudah menjadi kecamatan penuh, namanya Kecamatan Junjuang Sirih.
Kami mengontrak rumah di dekat Pasar, disana disebut Balai. Masa-masa berdiam di adalah masa yang paling kami ingat. Banyak sekali pengalaman unik di daerah sini. Adik bungsuku lahir disini, di tahun 1986. Mungkin ratusan cerita bisa terlahir disini, karena begitu banyaknya pengalaman yang kami rasakan sekeluarga.
Tugas ayah waktu itu sangat berat, terkait dalam proses pemenangan Golkar. Maklum di tahun 1982, disini Golkar kalah. Yang menang adalah PPP. Dari cerita ayah, hubungan beliau dengan elit-elit nagari sangatlah dinamis. Begitu menarik katanya, dan berbeda dengan nagari-nagari lain tempat beliau ditugaskan sebelumnya.
Berangkat dari kondisi pemilu 1982, wilayah ini begitu menjadi sorotan pejabat. Silih berganti mereka datang ke wilayah ini. Mulai dari Gubernur Azwar Anas, sampai ke Hasan Basri Durin. Dan tentu saja, ayah dan ibu yang dibikin sibuk. Rumah kami tak ubahnya seperti ruang sekretariat. Beruntung, di tahun 1987 Golkar menang di wilayah ini, suaranya lumayan pula 69% dari sebelumnya hanya 45%.
Di masa ini, kami punya seekor yang anjing yang sangat patuh. Namanya Pilo. Ritual paginya adalah berlari di belakang Honda Win ayah menuju kantor. Lalu ia tidur-tiduran di teras kantor ayah sampai jam 10 pagi. Setelah itu, ia pulang ke rumah menunggu rumah. Ketika ayah dan Ibu pulang, ia akan berlari menjemput ke ujung gang. Lalu mulai menggonggong meminta makan. Dan Ibu pun memberikan makan. Jam 2 adalah waktu Pilo untuk adikku yang nomor 3. Adikku suka menjadikan Pilo kuda tunggangan, atau sesekali adikku memasangkan bajak kecil ke pundak pilo. Selesai bermain dengan adikku, pilo melanjutkan kegiatan sosialisasinya dengan sesama komunitas anjing lainnya.
Soal galak, Pilo jangan diragukan. Begitu hebat sebagai seekor anjing penjaga rumah. Ia hanya akan baik pada kami sekeluarga ditambah beberapa orang yang sering ke rumah. Pernah suatu ketika ajudan Bupati datang ke rumah, menyampaikan pesan Bupati. Pilo langsung menyalak dan memanjat si ajudan. Untung ayah melihat, kalau tidak, mungkin si ajudan sudah digigit atau minimal sudah mengambil langkah seribu.
Pernah sekali di akhir 1989, ketika itu ayah sudah menjadi camat Singkarak tapi kami masih tinggal di Paninggahan. Sore itu kami sekeluarga-dengan mobil dinas pak camat kijang merah- hendak ke Koto Baru (Kantor Bupati Solok-pen) menemani ayah. Pilo lagi berkeliaran di dengan komunitasnya, dan kami pun tidak sempat mengikat. Menjelang Sumani, adikku menengok ke belakang dan ia berteriak memberi tahu di belakang ada Pilo. Segera ayah memberhentikan mobil, dan memang pilo lagi terengah-engah di belakang. Langsung Pilo dibawa ke rumah seorang Kepala SD kenalan kami, diikat disana untuk dilepas lagi nanti sampai kami nanti pulang dari Koto Baru.
Ketika kami pindah dari Paninggahan tahun 1990, pilo berikan ke keluarga Tek Jaminar. Ketika kami berkunjung kesana 6 bulan berikutnya, Pilo masih mengenal kami. Masih berusaha bermanja-manja ke Ayah dan adikku si penunggangnya. Tahun 1993 ketika kami berlebaran ke Paninggahan, Pilo dikabarkan sudah mati setahun sebelumnya. Kulihat adikku (11 tahun waktu itu) tertunduk lama. Mungkin ia menangis kehilangan Pilo untuk selamanya....
Awal tahun 1985, ayah diangkat jadi kepala perwakilan kecamatan X Koto Singkarak di Paninggahan, yang meliputi wilayah Paninggahan dan Muara Pingai. Sekarang daerah ini sudah menjadi kecamatan penuh, namanya Kecamatan Junjuang Sirih.
Kami mengontrak rumah di dekat Pasar, disana disebut Balai. Masa-masa berdiam di adalah masa yang paling kami ingat. Banyak sekali pengalaman unik di daerah sini. Adik bungsuku lahir disini, di tahun 1986. Mungkin ratusan cerita bisa terlahir disini, karena begitu banyaknya pengalaman yang kami rasakan sekeluarga.
Tugas ayah waktu itu sangat berat, terkait dalam proses pemenangan Golkar. Maklum di tahun 1982, disini Golkar kalah. Yang menang adalah PPP. Dari cerita ayah, hubungan beliau dengan elit-elit nagari sangatlah dinamis. Begitu menarik katanya, dan berbeda dengan nagari-nagari lain tempat beliau ditugaskan sebelumnya.
Berangkat dari kondisi pemilu 1982, wilayah ini begitu menjadi sorotan pejabat. Silih berganti mereka datang ke wilayah ini. Mulai dari Gubernur Azwar Anas, sampai ke Hasan Basri Durin. Dan tentu saja, ayah dan ibu yang dibikin sibuk. Rumah kami tak ubahnya seperti ruang sekretariat. Beruntung, di tahun 1987 Golkar menang di wilayah ini, suaranya lumayan pula 69% dari sebelumnya hanya 45%.
Di masa ini, kami punya seekor yang anjing yang sangat patuh. Namanya Pilo. Ritual paginya adalah berlari di belakang Honda Win ayah menuju kantor. Lalu ia tidur-tiduran di teras kantor ayah sampai jam 10 pagi. Setelah itu, ia pulang ke rumah menunggu rumah. Ketika ayah dan Ibu pulang, ia akan berlari menjemput ke ujung gang. Lalu mulai menggonggong meminta makan. Dan Ibu pun memberikan makan. Jam 2 adalah waktu Pilo untuk adikku yang nomor 3. Adikku suka menjadikan Pilo kuda tunggangan, atau sesekali adikku memasangkan bajak kecil ke pundak pilo. Selesai bermain dengan adikku, pilo melanjutkan kegiatan sosialisasinya dengan sesama komunitas anjing lainnya.
Soal galak, Pilo jangan diragukan. Begitu hebat sebagai seekor anjing penjaga rumah. Ia hanya akan baik pada kami sekeluarga ditambah beberapa orang yang sering ke rumah. Pernah suatu ketika ajudan Bupati datang ke rumah, menyampaikan pesan Bupati. Pilo langsung menyalak dan memanjat si ajudan. Untung ayah melihat, kalau tidak, mungkin si ajudan sudah digigit atau minimal sudah mengambil langkah seribu.
Pernah sekali di akhir 1989, ketika itu ayah sudah menjadi camat Singkarak tapi kami masih tinggal di Paninggahan. Sore itu kami sekeluarga-dengan mobil dinas pak camat kijang merah- hendak ke Koto Baru (Kantor Bupati Solok-pen) menemani ayah. Pilo lagi berkeliaran di dengan komunitasnya, dan kami pun tidak sempat mengikat. Menjelang Sumani, adikku menengok ke belakang dan ia berteriak memberi tahu di belakang ada Pilo. Segera ayah memberhentikan mobil, dan memang pilo lagi terengah-engah di belakang. Langsung Pilo dibawa ke rumah seorang Kepala SD kenalan kami, diikat disana untuk dilepas lagi nanti sampai kami nanti pulang dari Koto Baru.
Ketika kami pindah dari Paninggahan tahun 1990, pilo berikan ke keluarga Tek Jaminar. Ketika kami berkunjung kesana 6 bulan berikutnya, Pilo masih mengenal kami. Masih berusaha bermanja-manja ke Ayah dan adikku si penunggangnya. Tahun 1993 ketika kami berlebaran ke Paninggahan, Pilo dikabarkan sudah mati setahun sebelumnya. Kulihat adikku (11 tahun waktu itu) tertunduk lama. Mungkin ia menangis kehilangan Pilo untuk selamanya....
2 comments:
Rancak tu na..
I'm come from in GANDO
Post a Comment